Abstraksi Cinta 09

Hujan di sore hari adalah fenomena yang biasa di musim penghujan. Namun ketika hujan seperti ini, selalu ada memori yang melintas cepat. Secepat kepakan sayap burung kolibri, namun sakit yang ditinggalkan setajam cakar rajawali. Semua selalu sama. Berakhir di penghujung hujan. Meski beda cerita, beda masa.

Entah apa yang membuatku begitu tak berdaya atau jika mau dikatakan “bodoh”. Mungkin cinta? Ah, bahkan aku tak menemukan definisi yang tepat untuk kata itu. Lupakan kata itu, yang ada hanya pertarungan antara logika dan hati. Apabila logika yang menang, maka untukmu masa depan. Namun jika hati, mungkin itu yang kau katakan cinta.

Empat kali musih penghujan berganti. Aku lupa. Mungkin lima. Satu hal yang aku ingat hujan itu sama dengan hujan-hujan lainnya. Meneteskan bulir-bulir air duka dari celah keputus asaan awan yang tak tega melihatku di sini. Ya, hanya sendiri menggenggam sebilah logam berlipat berwarna putih dan tak ketinggalan, hujan yang mengguyur.

Di ujung telfon sana, suara  yang hampir sepuluh purnama kukenal. Mengucap manis sejuta alasan ketika sedang pergi dengan lelaki itu. Ia ada di seberang sana. Ya, hanya di seberang jalan sana. Namun tak mau menemuiku yang belindung di bawah atap teras sebuah tempah yang aku pun tak tahu apa.

Semua telah berakhir pada saat itu. Aku tak tahu mengapa harus ada dusta jika memang itu tak ada urusannya dengan sesuatu yang dinamakan komitmen. Jika dusta hanya akan memupuk dendam dan kejujuran jadi tak bermakna lagi.

Hujan makin deras, deras, dan terus menghanyutkan sisa-sisa kenangan yang mungkin indah menurutku. Namun satu hal yang aku terima kasih. Terima kasih untuk tidak mengkasianiku. Biar semua berlalu dengan cepat dan anggaplah tak pernah ada cerita di antara kita.

Baca juga:  Abstraksi Cinta 01

Jakarta, di bawah lindungan hujan.

2 Comments

  1. asli harmonisasi katanya keren

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *