Ada yang mengatakan bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Ada pula yang berpendapat bahwa cinta tak harus memiliki. Apakah itu hukum yang harus dipatuhi semua orang yang memiliki rasa cinta di hatinya? Atau hanya kaidah-kaidah dalam sinetron dan buku roman yang bukan tak mungkin tak berlaku untuk semua orang? Namun satu hal yang pasti. Dimana ada awal, pasti ada akhir. Entah akhirnya baik atau tidak, tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Ada kalanya ketika cinta berakhir, maka hati akan tersakiti. Biasanya ada dua hal dampak dari peristiwa ini. Pertama, ia akan menyalahkan si mantan yang seakan meninggalkannya, mengkhianatinya, menyakitinya. Ia merasa sudah melakukan segalanya dan sebuah kesalahan bahwa hubungan itu harus berakhir. Ada yang marah atau kecewa karena berfikir bahwa ia ditinggalkan karena si mantan tak mau menerima kekurangan pada dirinya. Ia menyalahkan orang lain karena itu.

Selain itu, ada orang yang malah menyalahkan dirinya, dan menganggap bahwa semua adalah kesalahannya maka hubungan itu berakhir. Tipe kedua ini tak ingin menyalahkan orang lain dan hanya ingin fokus untuk intropeksi, terus mencari-cari apa yang menjadi kesalahannya. Tapi dampaknya dia dapat terus larut dalam rasa bersalah dan ujung-ujngnya merasakan sakit yang mendalam.

Segala sesuatu kembali lagi pada sudut pandang mana kita mau memilih. Apakah ingin jadi pecundang dengan terus meratapi diri dan berfikir bahwa kita telah disakiti hingga terpuruk? Atau mau bergeser ke sisi yang berbeda dan berasumsi bahwa mungkin saja si mantan juga terluka dan bukan kita makhluk paling menderita di dunia? Tak ada manfaat orang lain tahu apa yang kita derita dan rasakan. Cukup hanya kita yang tahu. Sebab mungkin di balik senyum tegar seseorang, tersimpan pedih yang dalam, dan tak akan orang lain tahu.

Baca juga:  Destiny

Rasa rendah diri pun dapat memperburuk keadaan. Ketika ia disakiti, maka akan cenderung berfikir bahwa ini semua karena kekurangan yang dimiliki. Padahal, bisa jadi sebab faktor-faktor lain yang tak berada absolut di dirinya. Namun mental block yang ada, membuatnya terkadang sulit untuk keluar dari situasi itu. Efeknya akan terjadi sekaligus yaitu menyalahkan dia yang tak mau menerima dirinya apa adanya, dan menyalahkan diri disebabkan tak mampu berbuat apa yang selayaknya dapat dilakukan oleh orang lain.

Parameter-parameter umum yang berlaku dapat menjadi beban bagi dirinya. Ia terpaku pada apa yang dapat dilakukan orang lain, bukan pada apa yang dapat dilakukan olehnya secara sempurna. Ia belum dapat menerima dirinya, mengakui kelebihannya, dan melihat bahwa dirinya berharga untuk dicintai. Ia belum menyadari bahwa banyak jalan menuju Roma. Tak hanya dengan satu jalan konvensional untuk mencapai garis finish, akan tetapi banyak jalur lainnya meski terkadang harus memutar. Ia masih takut untuk berbeda, dan berani mengatakan bahwa ia dapat melakukan apa yang dapat dilakukan orang lain, meski dengan jalan yang berbeda.

Belum tentu dia tak mencintaimu karena sesuatu yang kau yakini sebagai kekurangan atau kesalahanmu. Mungkin saja benar, tapi belum pasti begitu. Kadang kita saja yang “asik” dalam dunia keputus-asaan yang dibuat sendiri, dan membenamkan diri di dalamnya. Apabila dari sudut pandang yang lain, toh buat apa mencintai seseorang yang tak mau mencintai kamu apa adanya? Apa yang ada dunia tak akan kekal, dan manusia akan selalu berubah. Cari dia yang mau mencintaimu apa adanya, sebab yang dia cintai sesungguhnya bukan kamu tapi Allah yang menciptakan kamu. Sebab karena Tuhannya dia mencintai kamu, dan dasar cinta yang abadi juga akan menghasilkan kasih sayang yang kekal pula.

Baca juga:  Abstraksi Cinta 01

Akhirnya, tulisan ini mengantarkan pada sebuah pernyataan dan ironi yang pernah dikatakan seseorang pada penulis. Bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Persoalan pada akhirnya cinta itu tak berpihak padamu, bukan salah kamu atau dirinya. You’re just simply not ment to be. Namun ada pula pertanyaan dari hal tersebut. Dapatkah kita memaksakan untuk tidak mencintai seseorang? (DPM)