Momentum bulan Ramadan identik dengan saling berbagi. Bagi umat Muslim, di bulan suci ini segala amalan yang dilakukan akan dilipat gandakan, wajar jika pada berlomba-lomba berbuat kebaikan. Kegiatan seperti buka puasa bersama, pembagian bingkisan, dan sahur on the road jadi pemandangan lumrah sepanjang bulan suci. Bahkan berkah ini pun dirasakan juga oleh pemeluk agama selain Islam dengan kadang ikut berbagi di momen-momen seperti itu. Namun, kadang tak terlintas apakah benar pemberian yang dianggap amal tadi benar-benar bermanfaat bagi si penerima? Pernah terfikir jika kebahagian yang di dapat ketika berbagi berbanding lurus dengan dampak bagi mereka?

Ada paradigma yang salah mungkin dengan kata berbagi. Berbagi sering ditujukan apabila seseorang berlebih akan sesuatu seperti harta. Ketika mengalami kelebihan harta, maka berbagilah dengan yang membutuhkan, jika tidak, maka tak perlu. Apabila konsep seperti ini yang dipakai, maka dampaknya akan bias. Pada titik apa manusia pernah merasa puas atau berkecukupan? Seseorang yang sudah memiliki mobil dua di garasinya, bukan tak mungkin masih merasa kurang dan berharap punya yang ketiga, empat, dan seterusnya. Tak akan ada batasnya jika parameter yang dipakai adalah kepuasan. Sebab menurut hukum ekonomi pula bahwa kebutuhan manusia itu tak terbatas, sedang alat pemuasnya terbatas.

Akan berbeda rasanya jika berbagi didasari oleh keinginan tulus dalam hati karena sadar bahwa ada hak orang lain pada segala sesuatu yang “dimiliki”. Sebab hakikatnya apa yang ada saat ini adalah titipan Allah, kita tak pernah menanam apa-apa dan tak akan memiliki apa-apa. Mau banyak atau sedikit harta yang dimiliki, ada hak orang lain di dalamnya. Maka di Islam mewajibkan adanya Zakat Mal, yang terhitung 2,5% dari tiap rejeki yang didapatkan, bukan setelah harta dirasakan banyak atau berlebih. Apabila seseorang baru berbagi jika sudah merasa lebih, tak akan pernah terjadi karena akan selalu merasa kurang.

Baca juga:  Alasan Pertama Mulai Ngeblog

Bahkan ketika berbagi didasari karena merasa lebih, maka ada satu risiko yang berpeluang hadir yaitu Riya. Sikap ini muncul karena seseorang merasa lebih dari yang lain, dan ingin kelebihan itu terlihat, dan salah satu caranya dengan berbagi. Ia akan merasa “hebat” yang dibalut secara semu oleh rasa syukur ketika berbagi, dan seolah-olah posisinya berada lebih tinggi dari orang yang dibantu. Padahal berbagi bukan untuk menegaskan status sosial seseorang; sebagai dermawan dan penerima derma, melainkan syogyanya karena Allah. Karena Allah tidak memandang tinggi rendahnya derajat hamba-hamba-Nya kecuali dari taqwa, dan hal itu hanya Allah yang tahu. Demikian, hal yang dianggap baik dan terpuji menurut makhluk, belum tentu tulus dan dampaknya dapat menjadi bumerang apabila tidak dilandasi oleh ikhlas.

Coba posisikan seandainya dirimu ada pada mereka yang membutuhkan bantuan. Inginkah dilihat sebagai “pengemis” yang menadah tangan di depan umum? Lihat pada proses pembagian BLSM yang dilakukan di area terbuka. Mungkin para mentri dan pejabat yang membagi-bagikan amplop di hadapan khalayak akan merasa bangga karena sudah berbagi. Namun, bagaimana dengan perasaan rakyat yang menerima? Sudah keadaan ekonomi lemah, masih terhinakan pula dengan harus mengantri belas kasihan dari pemerintah. Kembali ke konteks kita, jangan sampai hal tersebut juga terjadi. Rangkullah orang yang ingin dibantu dengan manusiawi, dan jadikan dirimu sebagai sahabat, bukan dermawan.

Lebih jauh, perlu disadari juga apakah bantuan atau amal yang diberikan benar-benar berdampak positif, atau hanya memenuhi kebutuhan sesaat. Derma seperti pembagian sembako atau uang amplop menurutku hanya akan berdampak konsumtif dan tak jangka panjang. Ketika membantu, fikirkanlah pula manfaat jangka panjang dari bantuant ersebut. Buat apa jika membantu hanya memberikan senyuman beberapa menit, setelahnya kembali merana atau bahkan lebih? Apabila prinsip ini yang masih digunakan, maka potensi beberapa poin di atas itu balasannya. Pertimbangkan pada bantuan yang sifatnya pemberdayaan. Bagaimana kau memberikan kail untuk menghidupi sepanjang usia, daripada memberi ikan untuk hidup hanya satu hari.

Baca juga:  Indar Atmanto, Internet, dan Disabilitas

Pada akhirnya, semua kembali pada niat tulus untuk berbagi dengan sesama. Tidak segala sesuatu yang terlihat baik itu benar pula adanya. Belum tentu senyuman yang kau lihat ketika memberikan bantuan akan terjadi pula keesokan hari ketika sudah terkonsumsi habis. Sama-sama berbagi, buatlah itu lebih berdampak agar senyuman mereka masih ada ketika suatu hari kelak bertemu lagi di kondisi yang berbeda.(DPM)