Alhamdulillah, sepanjang tahun 2016 dipercaya untuk menjadi salah satu trainer atau instruktur di Bimbingan Teknis (Bimtek) Peningkatan Literasi dan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Penyandang Disabilitas yang diadakan di beberapa kota. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Puslitbang Literasi dan Profesi, Badan Litbang dan SDM, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI. Peserta dari pelatihan ini yaitu penyandang disabilitas tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa dari beberapa kota yaitu Surabaya, Surakarta, Bandar Lampung, Yogyakarta, Cirebon, Tangerang, Semarang, Bogor, dan Magelang.

Saya pribadi, menyambut positif inisiatif negara melalui Kementrian Kominfo ini. Tujuan utama dari pelatihan yaitu agar semakin banyak penyandang disabilitas yang mampu memanfaatkan TIK sebagai solusi dari keterbatasan yang dihadapi, serta memotivasi mereka agar dapat memanfaatkan TIK untuk membuka peluang baru lapangan kerja. Hal ini sangat sesuai mengingat kita sekarang berada di era digital dan TIK membuka peluang besar di berbagai bidang. Selain itu, sasaran peserta pelatihan yaitu penyandang disabilitas di usia muda 15 – 24 tahun, diharapkan dapat membuka wawasan mereka betapa TIK sangat penting untuk masa depan.

Di tiap kota, total ada 100 peserta pelatihan. Porsi untuk peserta yang tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa berbeda-beda. Misal pada pelatihan di Surabaya ada 40 peserta yang tunanetra, sedang di Surakarta hanya 20 orang. Pelatihan berlangsung sehari penuh, dari pagi hingga sore, dan diadakan di hotel-hotel yang memiliki fasilitas mencukupi dari segi koneksi internet, dan relatif mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Panitia menyediakan perangkat laptop untuk tiap peserta selama pelatihan, dan khusus untuk peserta yang tunanetra, laptop sudah dilengkapi dengan screen reader JAWS / NVDA dan headset.

Baca juga:  AirAsia, Maskapai Pertama Mengadakan Disability Equality Training

Materi yang diajarkan yaitu E-tool (microsoft Word dan Microsoft Excel), E-design dengan PowerPoint, programming sederhana dengan Scratch, dan E-live map yaitu browsing internet. Tim instruktur biasanya ada beberapa orang yang berasal dari Pusat TIK Nasional Kominfo yang di Ciputat, lalu juga ada pihak eksternal misal dari komunitas design, dan khusus buat peserta yang tunanetra, instrukturnya pun juga tunanetra. Dalam hal ini, ada saya dan Andira Pramatyasari dari Kartunet yang secara bergantian jadi instruktur.

Added value

Saya sangat mengapresiasi kepercayaan Kominfo yang menghadirkan instruktur yang tunanetra untuk peserta pelatihan yang tunanetra pula. Bukan karena para tunanetra mengalami hambatan komunikasi, tapi pengoperasian komputer yang menggunakan screen reader dan keyboard, membuat teknik pengajaran komputer untuk tunanetra pun agak berbeda. Hal ini tentu tak dapat dilakukan oleh instruktur yang awas atau bukan tunanetra karena teknik umum pengoperasian komputer itu menggunakan visual dan mouse.

Selain itu, saya juga sangat berterima kasih karena dengan jadi instruktur di beberapa daerah, membuat kami berkesempatan untuk berjumpa langsung dengan komunitas disabilitas di daerah tersebut. Kami jadi punya akses untuk dapat berjejaring dengan mereka.

Selama pelatihan, tak lupa saya memberi motivasi ke teman-teman agar dapat memanfaatkan TIK untuk masa depan mereka. Meski waktu pelatihan sangat singkat dan materi pokok yang disampaikan hanya seputar E-tool Microsoft Word dan Microsoft Excel serta browsing internet, saya coba “memprovokasi” mereka mengenai internet marketing. Paling tidak, mereka dapat gambaran bahwa internet marketing bisa jadi salah satu lapangan kerja potensial, bahkan untuk mendapatkan penghasilan ratusan hingga ribuan dolar tiap bulannya.

Darip engalaman memberi pelatihan di beberapa kota, secara umum semuanya berjalan lancar. Para peserta pun sangat antusias dan kadang sampai membuat saya terharu karena semangat mereka. Hanya mungkin yang dapat sedikit dibenahi adalah untuk rekrutmen peserta. Memang faktanya agak sulit untuk mengumpulkan peserta penyandang disabilitas, khususnya yang tunanetra, jika waktu sosialisasinya relatif singkat. Sebab, tidak semua daerah ada kantong yang dimana para tunanetra terpusat tinggal di sana seperti panti atau SLB. Ditambah lagi kecenderungannya para tunanetra tidak lagi sekolah di SLB melainkan di sekolah-sekolah umum. Membuat agak sulit jika rekrutmen peserta berbasis lembaga.

Baca juga:  Profil BEAT Indonesia

Satu cara yang dapat jadi solusi yakni waktu sosialisasi atau pengumuman kegiatan pelatihan yang relatif panjang, serta bergerilya dengan menghubungi organisasi atau komunitas disabilitas dan mendorong mereka untuk menyebarkan info ke sesama teman melalui sms atau sosial media.

Sebagai penutup, kami bersyukur karena negara makin memperhatikan masyarakat penyandang disabilitas untuk dapat mengembangkan potensi dan skill mereka di bidang TIK. Semoga tahun depan kegiatan serupa dapat diadakan kembali, menjangkau daerah-daerah yang lebih banyak dan jauh, agar semakin banyak penyandang disabilitas yang melek teknologi. Terima kasih untuk pak Basuki, ibu Gati Gayatri, mbak Anin dari Kemkominfo yang sudah mempercayai kami, semoga program Kemkominfo ini membawa manfaat untuk kita semua.(DPM)