Adelaide – Akhirnya ada kesempatan untuk menceritakan pengalaman unik yang tak terduga saat hari keberangkatan ke Australia. Istilahnya ini seperti sengsara membawa nikmat. Tujuan mau terbang langsung dari Jakarta ke Adelaide dengan Malaysia Airlines via transit di Kuala Lumpur, malah tertahan dulu di Malaysia dan jadi merasakan semalam di Negeri Jiran. Wal-hasil, bertambahlah satu stamp di paspor dengan cap negara Malaysia.

Rencana berangkat dari Soekarno-Hatta International Airport ke Kuala Lumpur International  Airport (KLIA) pukul 7 malam, delay kira-kira satu jam lebih. Setelah boarding, kapten pesawat menerangkan bahwa ada kepadatan di traffic Bandara Cengkareng, jadi pesawat harus antri untuk take off. Wajar jika ada wacana relokasi beberapa penerbangan domestik dari Cengkareng ke Halim Perdana Kusuma. Sebab Soekarno-Hatta nampaknya memang sudah over-capasity untuk ibu kota negara sebesar Jakarta. Apalagi dibandingkan dengan bandara KLIA, kalah jauh luasnya.

Mendekati Kuala Lumpur, ada info lagi dari kapten pesawat bahwa landing masih harus menunggu persetujuan dari operator KLIA. Aku tak tahu apa alasannya. Nampaknya karena waktu keberangkatan yang sudah molor, maka harus diatur ulang untuk jadwal landing. Jadilah kami berputar-putar sejenak di langit Kuala Lumpur. Sesampainya di sana, situasi agak kurang kondusif. Banyak penumpang yang agak tergesa turun, karena mungkin mengejar flight berikutnya. Sesungguhnya kami juga dijadwalkan untuk transit ke Airbus yang akan membawa kami terbang 8 jam ke Adelaide. Sesuai jadwal, seharusnya pesawat kedua kami take off pukul 10 malam. Tapi kami baru sampai di KLIA jam 11 malam atau dengan kata lain terlambat 2 jam.

Ibu Wisnu dari Depsos, salah satu peserta dari Indonesia juga sudah agak panik di bandara seluas KLIA dalam keadaan sepi dan sulit menemukan petugas. Alhamdulillah, Allah memberi bantuan yang tak terduga. Mungkin lihat ada ibu-ibu yang repot menuntun dua orang tunanetra, seorang mak-cik Malaysia yang juga satu penerbangan dengan kami dari Jakarta menawarkan bantuan. Dari mak-cikyang aku belum sempat menanyakan namanya itu, kami dibantu untuk klaim ke pihak MAS atau Malaysia Airlines agar diatur akomodasi semalam di Malaysia, sebab flight kami ke Adelaide berangkat tepat waktu yaitu jam 10 malam, atau ketika kami masih di langit menuju Kuala Lumpur. Entah jika tak ada mak-cik tersebut, mungkin kami sudah terlunta-lunta di KLIA. Mak-cik itu sangat membantu ketika berkomunikasi dengan sesama orang Malaysia dengan melayu yang cepat dan agak aneh kalo didengar orang Indonesia. Semoga Allah yang membalas kebaikan mak-cik Malaysia itu. Mungkin kita boleh tak suka pada pemerintahnya, tapi tiap manusia sama, ada hati di dalamnya.

Baca juga:  Kado Kecil di Ujung Peluh

Dibantu oleh petugas bandara, kami diberi langsung boarding pass untuk besok malam di waktu dan flight yang sama, dan voucher makan serta menginap semalam di Malaysia. Dari KLIA ke hotel pun pihak Malaysia Airlines sudah menyiapkan mobil minibus yang ternyata juga untuk mengantar penumpang-penumpang lain yang pending flight. Boleh hasil ngobrol dengan pak-cik yang mengantar-jemput kami, dengan bahasa gado-gado English dan melayu khas Malaysia itu, ternyata MAS memang sangat sering delay. Pernah kata si pak-cik perlu tiga bus untuk angkut penumpang dari KLIA ke hotel karena flight pending. Tapi puas juga karena penumpang tidak disuruh stay di airport dan disediakan hotel bintang 3. Hanya aku bertanya-tanya juga apa tidak rugi besar maskapai ini jika memberi kompensasi semewah ini pada jumlah kasus yang cukup banyak? Sudahlah, berharap Garuda Indonesia lebih baik.

Perjalanan malam dari KLIA ke hotel cukup lama hampir 1 jam. Sebelumnya aku kira kami akan diinapkan di hotel dekat dengan KLIA. Ternyata, kami menginap di Seremban, sudah masuk negara bagian Negeri Sembilan pada hotel The Royale Bintang Resort and Spa. Overall, hotel tersebut lumayan bagus, meski keesokan harinya kami baru sadar bahwa tak ada objek menarik terdekat dengan hotel yang dapat dikunjungi, atau minimal jadi wahana foto-foto. Padahal jika menginap di Kuala Lumpur, siang harinya dapat jalan-jalan gratis ke ikon-ikon malaysia. Kebetulan, di tanggal 31 Agustus adalah hari kemerdekaan Federasi Malaysia.

Di kamar, aku coba untuk cari sinyal hotspot dan ternyata di-password. Sebetulnya ingin mengabari orang Gender Consortium di Adelaide bahwa pesawat kami pending, tapi sudah keburu lelah dan hanya sempat mengabari ke Jakarta. Baru setelah sampai di Adelaide, aku dengar kabar bahwa mereka heboh ketika di hari Sabtu pagi, jadwal dimana kami seharusnya tiba, tidak menemukan tim Indonesia di Adelaide Airport. Namun melalui Blindman Jack, alias Jaka Ahmad, tunanetra dari Indonesia yang sedang ambil program master of social work di Flinders Uni, ia berhasil menghubungi mbak Welin, salah satu peserta juga dari HWDI, dan memberitahu Cara dan Anu dari Gender Consortium mengenai kondisi kami.

Baca juga:  Dapat Tiket Online Kereta Api Mudik dari Gelombang Kedua

Jujur, aku senang-senang saja “terdampar” di Malaysia. Di saat mereka lagi heboh di Adelaide Airport karena tidak menemukan kami, aku sedang puas-puasnya makan di hotel, aji mumpung sebelum menu berubah drastis jadi ordo roti dan daging di Australia nanti. Bahkan satu hal yang membuatku lebih bersyukur lagi karena ditambahkannya stempel imigrasi Malaysia di paspor, yang tak mungkin didapat jika hanya transit biasa. Ini seperti jadi salah satu Blessing in Disguised sebab ketika kuliah S1 semester 5, sebetulnya ada kesempatan untuk student exchange ke Malaysia dari jurusan, tapi tak tercapai karena tak ada yang membantu urus berkas. Jadilah tertinggal dari enam teman lainnya di jurusan yang berangkat ke Malaysia untuk kuliah 1 semester di sana. namun tak mengapa, aku menikmati tiap detik yang diberikan Allah padaku, dan semua selalu indah pada waktunya. Sebetulnya esok hari, ketika berangkat kembali ke Jakarta, ada harapan juga diam-diam agar penerbangan pending lagi dan menginap di Kuala Lumpur. Tapi kasihan ke bu Wisnu jika nanti harus berepot-repot lagi. Semoga besok lancar, dan dapat segera ketemu keluarga.(DPM)