Maghrib menjelang disertai dengan berkah Allah dalam bentuk rintik hujan. Aku dalam perjalanan pulang sehabis pertemuan di Pasitif Place ketika naik motor bersama adikku menuju rumah. Ketika beberapa kilometer hendak sampai rumah, hujan itu datang. Sayup-sayup terdengar lantunan anak-anak dan orang dewasa membaca shalawat di masjid menjelang adzan Maghrib. Entah ada rasa yang bergetar di dada saat itu, merembes air mata yang tak sampai menjadi tetesan. Mungkin otak tak mampu merasa, tapi hati menangkap keagungan bulan Ramadhan yang segera tiba.

Hari ini pula sebagian saudara-saudara masyarakat Muhammadiyah dan lainnya sudah memulai puasa 1 Ramadhan. Namun menurut sidang Isbat, pemerintah menetukan baru keesokan harinya puasa pertama dimulai untuk seluruh Indonesia. Sebab tak ada laporan dapat dilihatnya Hilal di wilayah nusantara. Aku tak ingin mendebatkan siapa yang benar atau salah. Segala sesuatu yang baik akan tetap menjadi baik jika hanya dikarenakan perbedaan sedikit.

Alangkah baiknya jika umat Islam di republik ini mau berkompromi dan mengedepankan kebersamaan di atas kepentingan dan ego pribadi atau golongan. Bukan berarti itoleran dengan perbedaan, sungguh bukan. Tapi apa yang menyebabkan berbeda jika kitab suci yang diyakini satu, ada hadist dengan tingkatannya yang dapat dijadikan rujukan, dengan bulan dan matahari yang sama. Lantas apa yang membuat harus berbeda? Tak inginkah para pemimpin melihat umatnya bersatu dan memfokuskan perhatian untuk kesejahteraan daripada setiap tahun berselisih pendapat akan permulaan dan akhir bulan suci.

Mari tingalkan dulu perdebatan yang setiap tahun masih akan terus terjadi ketika pemerintah yang ditaati pun tak mampu jadi pemersatu. Biar apabila memang ada yang salah, maka pemimpin kita yang diminta pertanggung-jawabannya oleh Allah. Aku hanya ikut masjid di dekat rumah yang baru malam ini memulai shalat Tarawih. Hidup beragama ini sederhana. Ketika ada pemimpin yang amanah dan meletakkan kepentingan umat di atas segalanya, maka makmum hanya perlu dengarkan dan taati.

Baca juga:  Berharap Ada Suasana Baru di Dua Ramadhan Berikutnya

Kembali pada esensi bulan Ramadhan. Ketika hati mampu menangkap sinyal yang diberikan oleh penciptanya, selayaknya pula otak dan niat mengikutinya. Tak ada bulan yang seistimewa dengan Ramadhan. Saat dikala kebutuhan dunia dan akhirat dipenuhi oleh Allah SWT. Saat ketika bangsa ini mencapai kemerdekaan dan Rasulullah SAW meraih kemenangan besar di perang Badr. Saat ketika Allah dengan ridhonya membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka. Bulan ketika Allah mau mengampuni seluruh dosa hamba-hamba yang tulus berharap ampunan dari-Nya.

Aku ingin dapat lebih baik dimulai pada Ramadhan ini. Tak ingin jadi Ramadhan terakhirku, tapi tak ingin juga mensia-siakannya terlewat begitu saja. Momentum yang tepat untuk memulai lagi segalanya dan belajar untuk konsisten dengan waktu dan diri sendiri. Sebab untuk mencapai sesuatu, harus ada permulaan, dan dijalankan hingga akhir dijumpa.(DPM)