Jakarta – Welcome Indonesia, here I am! Yap, Alhamdulillah setelah perjalanan delapan jam dari Adelaide – Kuala Lumpur – Jakarta dengan pesawat Malaysia Airlines, aku sampai di tanah air pada hari minggu dini hari. Kembali ke Jakarta, artinya kembali ke lalu lintas yang padat, sulitnya naik transportasi publik, tayangan televisi di waktu Maghrib dengan para bintang pencuri uang negara, dan berbagai hal lainnya yang dapat dirangkum dalam satu kata “realita”. Namun realita tak jadi terlalu buruk karena akhirnya dapat bertemu kembali dengan keluarga dan teman-teman baik.
Alhamdulillah flight hari sabtu lalu lancar dan tak ada delay yang berarti. Mungkin hanya penundaan selama 20menit saat transfer di Kuala Lumpur. Berdasar keterangan kapten pesawat, itu karena keterlambatan penerbangan dari Jakarta, yang tentu berakibat pada penerbangan selanjutnya. Ya, Soekarno-Hatta, sebagai airport kebangaan dan identitas nasional, memang harus diperluas dan ditingkatkan kualitasnya.
Namun ada kejadian unik plus bikin keringetan untuk yang pertama kalinya selama berada di Adelaide. Dimulai dari packing yang baru benar-benar selesai last minute. Sebetulnya untuk barang-barang utama seperti pakaian sudah selesai dikemas dari satu pekan sebelumnya. Tapi hari terakhir dimana seharusnya menyelesaikan packing, malah harus tidur larut malam karena kongkow-kongkow dulu di kamar anak-anak Mongolia sambil menghabiskan ice cream yang masih setengah box. Wal-hasil, pulang ke kamar, sudah ngantuk berat, dan memutuskan buat lanjut packing besok pagi. Tentu saja waktu tak cukup, dan printilan-printilan yang harus dimasukkan koper ternyata banyak dan langsung aja asal masuk. Akibatnya, jadi orang terakhir yang turun ke foyer apartemen dan tak sempat foto bareng sama receptionist cantik #Nasib.
“Buat yang ingin modus foto perpisahan sama receptionist cantik di hotel/apartemennya, atau buat kata-kata perpisahan yang dramatis dengan peserta lain yang jadi modusan, sebaiknya packing diselesaikan sehari sebelum hari H, jadi punya banyak waktu untuk nongkrong di lobi hotel ya”
Di Adelaide airport, satu lagi hal yang buat berkeringat ketika luggage bawanku overweight. Untuk Malaysia Airlines Economy class, berat maksimum barang bawaan di bagasi yaitu 30Kg. Beberapa hari sebelum berangkat, dua koper bawaanku sudah dicoba ditimbang dan dibuat agar tidak lebihd ari batas maksimum. Namun, dua alat timbang yang dipinjam dari teman Indonesia dan vietnam menunjukkan hasil yang berbeda. Jadi, sudah ada kecurigaan juga jangan-jangan ketika ditimbang di airport, berbeda hasilnya. Kekhawatiran itu terbukti ketika aku diminta petugas airport mengurangi 3Kg dari barang bawaanku di koper. Dia menyarankan agar memindahkan kelebihan di bagasi untuk dibawa ke kabin yang ternyata juga di batasi hanya 7Kg. Ini berbeda ketika berangkat dari Jakarta dimana bawaan di tas punggung atau jinjing tak ikut ditimbang.
Itulah aku, yang coba untuk tidak panik dan reshuffle isi koper. Ada beberapa barang yang dipindah dari koper ke tas punggung. Sebagian lagi harus dibuang di bandara, termasuk buku-buku dan materi selama short course, yang tadinya ingin sok jadi murid baik dengan membawa pulang hardcopy bahan-bahan kuliah. Aku sebetulnya mencurigai bertambahnya berat bawaan bagasi ini karena aku pulang dengan membawa dua koper. Bukan karena banyak belanja, tapi karena koper yang dibawa dari Jakarta patah roda, jadi tak dapat didorong lagi. Lantas koper yang baru ini terbuat dari bahan veber, jadi belum diisi saja sudah agak berat.
Total tiga kali aku kembali ke petugas bandara untuk ditimbang ulang dan akhirnya berhasil. Alhamdulillah aku check in di awal waktu, jadi belum banyak yang antri. Bersyukur juga teman-teman peserta short course masih ada di sana dan ikut bantu repacking. Thanks juga buat salah satu Social Welfare officer, Lynda, yang ikut antar kami sampai di airport yang sangat membantu. Tapi ini jadi pengalaman berharga, dan jika ada kesempatan lagi untuk ke luar negri, harus bawa timbangan portable yang masih akurat pastinya.
“Tips buat kamu yang pakai Malaysia Airlines juga atau penerbangan international lainnya. Usahakan tas yang dibawa ke kabin tidak mencolok atau terlihat banyak. Meski di situs resmi ada keterangan bahwa barang bawaan di kabin unlimited, tapi kadang petugas airport membatasi bobot hanya maksimum 7Kg. Berhati-hatilah, sebab cukup mahal yang perlu dibayar jika berat bawaan melebihi limit. Untuk kelebihan 3Kg saja, aku sempat diminta AUD40. Lumayan kan itu buat beli bakso orang sekampung? :D”
Kami tiba di KLIA tepat waktu, dan harus menunggu 2jam untuk flight berikutnya ke Jakarta. Jeda ini lumayan panjang apabila dibandingkan dengan sewaktu dari Jakarta yang hanya 1jam. Di airport, aku langsung dibantu oleh petugas yang sudah ready sebagai bagian dari support para pessanger with disability. Sepertinya Genevieve, salah satu tim di Gender Consortium sebagai host organization short course, sudah memberitahukan pihak MAS jika ada pessanger with disability dalam penerbangannya. Secara standar international, kami berhak untuk mendapat bantuan dari petugas untuk mobilisasi selama di bandara hingga masuk ke pesawat berikutnya. Termasuk mendapatkan fasilitas kursi roda apabila diminta. Mbak Welin, salah satu tim dari Indonesia yang juga tunanetra meminta agar diberi kursi roda kemudian didorong oleh petugas bandara. Alasannya katanya dari pada cape jalan. Aku pribadi tak setuju dengan itu. Bolehlah alasan usia dipakai, tapi tunanetra yang meminta kursi roda dapat jadi preseden buruk bagi pelayanan pada penyandang disabilitas. Sebab, tunanetra hanya butuh dituntun untuk diarahkan ketika mobilitas, bukan ditandu atau didorong dengan kursi roda.
Di klia ternyata ada launce yang sepertinya didesign untuk penyandang disabilitas. Sebab ada kursi-kursi mirip kursi-kursi di pinggir kolam renang yang nampaknya berfungsi bagi pengguna kursi roda yang ingin istirahat meluruskan punggung. Selain itu, di bandara ini menariknya internet via wifi cukup baik. Aku bisa mendapatkan jaringan internet di seluruh titik di bandara. Bahkan cukup baik dibuat Skype dengan Blindman Jack untuk kasih update kabar dengan Adelaide.
Dari semua itu, satu hal yang aku sadari dan tiba-tiba jadi penting: akhirnya ketemu nyamuk! Kembali memasuki negeri tropis, bersinggungan lagi dengan udara lembab dan panas, artinya tak lama lagi sampai Jakarta. Memang selama berada di Adelaide, baik di dalam atau luar apartemen, belum pernah aku menemui nyamuk satu ekor pun. Tapi sebagai gantinya, di Adelaide dan Australia pada umumnya banyak sekali lalat. Tapi tak perlu pencet hidung dulu, lalat-lalat ini berbeda dengan lalat di Jakarta yang identik dengan comberan atau pasar. Mereka dianggap sebagai fauna khas Australia dan memang keluar untuk mencari air. Makanya akan makin banyak lalat ketika udara sedang panas, dan daerah-daerah yang mereka incar seputar wajah, mata, mulut, atau hidung. Aku sih berfikir bahwa ini salah satu proteksi dari Allah agar orang-orang Aussie jika tertawa tak terlalu lebar mungkin.
Hingga di sini aku harus benar-benar mengatakan “Selamat tinggal Adelaide, selamat tinggal Australia. Semoga aku dapat menginjakkan kaki di atas tanahmu lagi untuk melanjutkan studi master dari program beasiswa”. Amin. Mohon do’a dari semuanya.(DPM)

Dimas adalah seorang blogger, penulis, dan motivator tunanetra kelahiran kota Jakarta yang bertepatan dengan perayaan Hari Pramuka tahun 1988. Lulusan program S1 Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini berkarir sebagai seorang PNS Peneliti di Pusat Riset Pendidikan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Saat ini Dimas sedang menyelesaikan kuliah Master of Education di The University of Adelaide, Australia.
Hihi ternyata nyamuk juga bisa bikin kangen :p
haha iya. sama orang yang menyakiti aja kita bisa kangen, apalagi cuma sama nyamuk? *lho?* 😀
Wah, seru!
Alhamdulillah. terima kasih ya sudah membaca 🙂
Semoga tercapai yaa doanya! Aku juga pengen deh bisa kuliah di luar negeri 🙂
aamiin.. do'a yang sama juga ya. terima kasih sudah berkunjung 🙂