Membuat sebuah perubahan tak dapat hanya dengan turun ke jalan. Bukan berarti cukup berwacana dan bicara maka perubahan itu dapat terwujud. Prinsip ini yang mendorong kami untuk mengadakanp program rutin baru di Kartunet Community bertajuk #DiskusiInklusif. Kegiatan yang diadakan tiap hari Sabtu siang satu kali tiap bulan di pekan pertama.

#DiskusiInklusif adalah obrolan santai namun berisi yang membahas mengenai isu-isu disabilitas dikaitkan dengan topik yang sedang hangat saat itu. Tiap peserta diskusi adalah narasumber yang diharapkan dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan, sekaligus mendapatkan hal baru dari peserta diskusi lainnya. Dari sana akan diungkap berbagai hal yang mungkin tak dipaparkan oleh pembicara-pembicara ahli. Karena peserta yang hadir dari kalangan disabilitas dan nondisabilitas yang punya pengalaman masing-masing dan semuanya harus speak up. Selain itu, digunakan juga dukungan teknologi untuk interaksi dengan masyarakat yang tidak hadir secara fisik. Komunikasi dapat melalui like Skype, twitter, atau Facebook dan juga SMS.

Dalam  melakukan perubahan paling tidak ada tiga elemen yang perlu dicermati yaitu siapa pelaku, bagaimana caranya, dan apa tujuan dari perubahan tersebut. Mengenai siapa pelakunya, penting bagi pelaku untuk memiliki konsepsi yang baik. Tak dapat sebuah perubahan dibuat jika pelakunya hanya ikut-ikutan. Maka, adanya diskusi yang berjalan cair, diperlukan bagi tiap pelaku untuk paham apa yang ia yakini dan memperoleh masukkan dari berbagai aspek.

Setelah paham, ia juga harus tahu bagaimana cara untuk mewujudkan perubahan. Cara dimaksud yaitu strategi apa, dengan siapa harus berjejaring, atau denganm edia apa yang paling efektif. Poin kedua ini juga mengacu pada pemahaman mengenai potensi diri. Jika lebih suka menulis daripada berbicara, maka tuangkanlah ide-ide perubahan dalam tulisan di media massa umum, dan berjejaring dengan para pelaku perubahan lainnya.

Baca juga:  Rudal Advokasi itu bernama "Media Warga"

Ketiga, yaitu tujuan yang ingin dicapai. Tiap pelaku harus sudah tahu apa output yang akan dihasilkan. Tak dapat sebuah aksi hanya berhenti pada tahapan wacana tanpa ada output conkret. Output ini juga harus berdampak dan dapat diukur keberhasilannya. Misal berapa orang yang dijangkau oleh sebuah kampanye, apa perubahan yang terjadi pasca aksi, dll.

Menurutku, #DiskusiInklusif juga harus bermuara pada aksi konkret, bukan sekedar obrol-obrol biasa. Apa yang diinginkan pasca kegiatan adalah aksi konkret. Aksi yang disesuaikan dengan kapasitas masing-masing. Karena peserta mayoritas anak muda, maka hal paling visible untuk dilakukan adalah membuat kampanye dan berbagi informasi serta inspirasi. Mungkin tidak langsung menyasar pada perubahan peraturan atau kebijakan, tapi kami yakin bahwa kesadaran masyarakat dan pemahaman pada informasi yang benar tak kalah pentingnya. Sebab, adanya stigma dan diskriminasi tak lain diakibatkan pula oleh kurangnya informasi yang benar dan langsung dari sumbernya. Maka, para  peserta diskusi yang notabenya adala penyandang disabilitas atau nondisabilitas yang peduli dengan isu ini dapat ikut bergerak dalam penyebaran informasi.

Beberapa aksi yang terfikir untuk dilakukan pasca #DiskusiInklusif minimal tiap peserta menuliskan pengalaman saat diskusi dan mempublikasikannya di blog, social media, atau dapat juga dikirim ke koran lokal/nasional. Aku yakin bahwa sebuah tulisan yang dihasilkan dari pengalaman real pribadi akan jauh lebih emosional dan dapat menginspirasi banyak orang. Selain itu, juga dapat dibuat semacam jaringan hashtag di Twitter yang para peserta diskusi diharapkan dapat saling retwit. Hashtag yang digunakan yaitu #DiskusiInklusif dengan harapan kegiatan ini kelak dapat diikuti lebih banyak orang. Bayangkan saja jika sekelompok orang membuat twit dalam topik yang sama dengan hashtag tertentu. Maka akan menjadi alat penarik perhatian dan melibatkan lebih banyak orang. Dapat juga misal twit yang dibuat sekaligus mention akun yang diharapkan perlu mengetahui topik yang sedang dibahas. Misal akun presiden @SBYudhoyono kurang aware jika hanya satu atau dua orang yang mention, maka apa yang terjadi jika 100 orang mention beliau pada waktu hampir bersamaan?

Baca juga:  Membangun Komunitas Berorientasi Pemberdayaan

Lebih jauh, diharapkan juga ada aksi-aksi lain di luar online yang dapat dilakukan. Misalnya dengan membuat aksi sosialisasi di acara Car Free Day. Sebuah cara yang mungkin juga efektif karena langsung berinteraksi dengan masyarakat. Dapat pula dengan mengikuti kegiatan jejaring lain seperti IDCC goes to campus atau Jakarta Barrier Free Tourism. Selain itu, pembuatan media sosialisasi berupa video juga dapat dipertimbangkan. Karena akar persoalan ada pada kurangnya informasi, dapat dibuat sebuah video yang isinya memberi pemahaman dan inspirasi secara sederhana mengenai isu disabilitas. Misal pada topik pendidikan, perlu dibuat video yang tujuannya menjelaskan bagaimana strategi belajar yang dapat dilakukan oleh siswa berkebutuhan khusus. Perlu ditunjukkan bahwa mengajar siswa berkebutuhan khusus bukan hal sulit jika tahu cara alternatifnya.

Sekian yang dapat aku share tentang #DiskusiInklusif. Ide dan harapan pada sebuah kegiatan sebagai penunjang pada upaya advokasi yang lebih luas telah dilakukan oleh aktivis disabilitas. Jika kamu membaca artikel ini dan tertarik untuk ikut diskusi, silakan datang karena pintu Kartunet Spirit Home terbuka untuk siapa saja. Minimal, dapat ikut diskusi dengan kasih komentar di sini ya. Semoga, #DiskusiInklusif tak hanya akan jadi sekedar ajang konkow-konkow, melainkan menunjukkan aksi konkret menuju perubahan positif.(DPM)