Jakarta – Ada hal yang menggelitik ketika menyadari dalam suatu forum bahwa tidak semua anak muda tahu apa itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang nama aslinya United Nations (UN). PBB saat ini lebih dikenal sebagai salah satu nama partai politik yang di Pemilu 2014 tak lolos Parliamentary Tresshold. Sedangkan singkatan UN, lebih jamak dipahami sebagai Ujian Nasional yang kontroversial itu. Padahal PBB atau UN memiliki peran besar bagi bangsa Indonesia sejak zaman kemerdekaan, paling tidak itu yang aku baca dari buku sejarah di sekolah.
Fakta itu kudapati saat memenuhi undangan seorang kawan yang luar biasa, pemuda Indonesia inspiratif yang pengalamannya sudah bertaraf internasional dan saat ini sedang bekerja di UNFPA, bro @Angga_DM. Undangan itu berisi ajakan untuk menjadi peserta focus group discussion (FGD) bagi representatif dari kelompok-kelompok pemuda sebagai persiapan kerangka kerja pembangunan antara PBB dan pemerintah Indonesia atau United Nations Partnership Development Framework (UNPDF) tahun 2016-2020.
Acara yang diadakan pada hari Senin, 26 Mei di Hotel Akmani, Jakarta itu dihadiri oleh beberapa kelompok pemuda yang beberapa di antaranya sudah aku kenal. Mereka ada yang hadir mewakili Indonesia Future Leaders (IFL), Dewan Kerja Nasional Pramuka, Aliansi Remaja Independen, Garuda Youth Community, Young Voices Indonesia, Forum Anak Nasional, Palang Merah Indonesia (PMI), Rohimah, dll. Sedangkan aku, datang mewakili komunitas muda disabilitas yang tergabung dalam Kartunet.
Kelompok pemuda memang sedang jadi salah satu prioritas dari PBB. Sebab lebih dari separuh penduduk bumi saat ini berasal dari golongan itu, dan masa depan dunia ada di tangan mereka. Sudah banyak forum-forum internasional yang memberikan porsi khusus bagi pemuda untuk menyampaikan pendapatnya. Salah satunya di forum Bali Post 2015, yang aku ikuti bulan Maret tahun lalu di Nusadua, Bali. Di forum itu diadakan beberapa diskusi internasional untuk kelompok pemuda, dan beberapa hasilnya dimasukkan dalam rekomendasi untuk agenda dunia pasca 2015.
Kembali ke jalannya FGD. Diskusi dimulai dengan pertanyaan seberapa jauh para pemuda mengenal PBB atau UN. Seperti paragraf awal tulisan ini, aku cukup tercengang karena banyak persepsi yang muncul mengenai PBB. Dari mulai nama parpol hingga Ujian Nasional. Selain itu, ternyata ada lebih dari 25 agen PBB yang bekerja di Indonesia. Sedangkan hanya beberapa seperti UNESCO, UNICEF, WHO, ILO, atau FAO saja yang umum dikenal. Hal ini menimbulkan pertanyaan berikutnya apakah ini disebabkan oleh masyarakat, terutama golongan muda yang kurang mau tahu mengenai peranan PBB, atau memang PBB yang kurang membumi ketika melakukan kegiatannya di masyarakat?
Selanjutnya, pembahasan memasuki seputar peranan PBB dan bagaimana seharusnya PBB bekerja dalam konteks Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi catatanku yang jadi pokok pembahasan utama sepanjang diskusi.
Pertama, mengenai peran PBB bagi Indonesia. Banyak di kalangan pemuda yang tidak merasakan peranan PBB secara langsung atau tidak langsung. Akan tetapi, aku sebagai representatif dari kelompok pemuda dengan disabilitas mengatakan bahwa PBB memeiliki peran besar, khususnya dalam membawa paradigma baru dalam memandang disabilitas melalui United Nations Convention on Rights of Person with Disability (UNCRPD) atau Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dari konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh DPR RI melalui UU no 19 tahun 2011 inilah, penanganan untuk penyandang disabilitas sudah semestinya diubah dari yang berdasar pada belas kasihan atau charity based, menjadi ke perspektif HAM atau rights based.
Kedua, keunggulan komparatif PBB yaitu sebagai lembaga internasional, ia memiliki kekuatan dan kapasitas untuk membawa sumber daya dari luar ke Indonesia dan menerapkan konsep serta paradigma baru dari masyarakat internasional. Beberapa contohnya adalah diadopsinya UNCRPD mengenai isu disabilitas dan CEDAW mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi pada perempuan. Selain itu, sebagai lembaga internasional PBB memiliki bargaining power yang lebih kuat untuk bermitra dengan pemerintah. Dari sana, PBB seharusnya jadi semacam fasilitator antara NGO atau kelompok di masyarakat agar dapat bekerja sama dengan pemerintah setempat melalui PBB. Sebab mustahil sebuah perubahan sosial dapat berjalan efektif tanpa peran aktif masyarakat, pihak swasta, dan juga pemerintah secara sinergis.
Hal lain yang menjadi catatanku adalah sering kali konsep atau framework yang dibawa PBB tidak berjalan mulus ketika diterapkan di lokal. Perlu adanya komunikasi dan adaptasi serta riset mendalam mengenai kultur dan juga melibatkan masyarakat secara langsung pada saat implementasi program-program PBB. Kerap kali, karena framework berasal dari masyarakat internasional dan yang membawakannya juga adalah orang asing, ada upaya-upaya “memaksakan” konsep untuk diterapkan yang kemungkinan besar tak berhasil karena tidak adanya keselerasan pemahaman.
Menimbang beberapa keunggulan tersebut, lebih pas jika PBB lebih berperan sebagai fasilitator antara masyarakat, pihak swasta, dan juga pemerintah. Masyarakat sebagai target sekaligus subjek perubahan, perlu untuk dirangkul oleh PBB dan ditingkatkan kapasitasnya agar mampu melakukan perubahan yang sifatnya berkelanjutan. Selain itu, PBB juga dapat memfasilitasi untuk melakukan mapping komunitas, sehingga antara komunitas juga dapat saling berkolaborasi dan mensinergikan gerakan.
Dengan pihak swasta, PBB juga punya kapasitas untuk membawa budaya CSR yang ada di masyarakat internasional ke Indonesia. Bagaimana dengan bargaining powernya, PBB dapat mempertemukan antara pihak swasta yang memiliki program CSR, dengan masyarakat atau NGO yang membutuhkan dukungan.
Lalu, PBB juga harus menjalin kemitraan baik dengan pemerintah. Sebagai pihak yang berfungsi sebagai regulator, PBB dapat menjadi semacam konsultan agar pemerintah membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan semangat masyarakat internasional dan memang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, PBB punya kapasitas untuk melakukan semua itu dan mempercepat terjadinya perubahan sosial yang diharapkan.
Menurutku, kesempatan FGD seperti ini adalah sebuah aksi strategis untuk selalu memasukkan dan mengingatkan agar isu disabilitas ada pada segala aspek pembangunan. Selama ini para penyandang disabilitas menjadi kelompok yang paling termarginalkan karena meski dengan jumlahnya yang besar, tapi suaranya selalu terabaikan. Akan tetapi aku yakin tahun-tahun ke depan akan menjadi perubahan ke arah yang positif dengan peran aktif kami dari generasi muda disabilitas yang mulai memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dan aktif berjuang melalui media. Semoga PBB menjadi salah satu mitra strategis kami, dan mampu membantu kami mengakselerasi terwujudnya masyarakat inklusif.
Download NOTULENSI FGD UNPDF 26 Mei 2014