Dua bulan yang menjadi jeda kompetisi sepak bola di Eropa (Juni dan Juli) ini menjadi saksi dimana Indonesia diserbu oleh para bintang lapangan hijau top dunia. Sebutlah bulan lalu ketika dilangsungkan International Friendly Match antara tim nasional Indonesia vs Belanda, terdapat nama-nama seperti Robin Van Persie dan Arjen Robben. Kemudian kemarin ketika Arsenal FC bertanding dengan tim yang disebut Indonesia Dream Team, dan pekan-pekan berikutnya menyusul kedatangan dua tim Liga Inggris lainnya Liverpool dan Chelsea. Sebetulnya Manchester United juga ke Indonesia tapi sekedar lewat di udara karena ada tour pra-musim juga ke Bangkok Thailand dan Sydney Australia.
Tentu sebuah kebangaan Indonesia dapat dipercaya untuk dikunjungi oleh tim-tim elit kelas dunia. Satu sisi positif bahwa peringatan negara-negara barat bahwa Indonesia berbahaya efek bom Bali sudah tak terasa lagi. “Indonesia nyaman, aman, dan ramah”, itu mungkin kesan yang berhasil dimunculkan lagi. Namun melihat hasil dari dua pertandingan di awal: 0-3 ketika melawan Belanda dan 0-7 dengan Arsenal FC, apa yang terfikirkan? Apakah kunjungan tersebut merugikan bangsa Indonesia karena kekalahan yang cukup memalukan? Ataukah hanya perspektif yang salah ketika melihat sepak bola sebagai simbol nasionalisme?
Ketika tim nasional sepak bola Belanda datang untuk pertandingan persahabatan ke Indonesia, pro dan kontra sudah bermunculan. Dari banyak itu adalah yang kontra karena pada akhirnya hanya akan memalukan tim Indonesia. Ada pengamat yang mengatakan bahwa pertandingan persahabatan tujuan untuk mencari sparring partner. Maka, idealnya adalah tim yang sekiranya seimbang atau setingkat lebih atau kurang dari segi kualitas. Tapi faktanya, peringkat FIFA tim Indonesia dan Belanda bagai bumi dengan langit. Belanda adalah runner up pada Piala Dunia 2010. Sedang Indonesia tidak tembus final di piala regional Asia Tenggara atau AFF Cup tahun lalu. Bahkan jika Belanda ingin bermain serius, hasilnya tentu tidak kurang dari 10 gol.
Selain itu, fakta bahwa promotor acara yang mendatangkan tim nasional Belanda hanya untuk orientasi uang sudah cukup menampar wajah bangsa. Bagaimana tidak, kedua negara memiliki hubungan historis yang kelam. Tak dapat pertandingan sepak bola yang membawa nama negara dipisahkan dari gengsi sebuah bangsa. Sebab hakikatnya, pertandingan olah raga diciptakan sebagai alternatif dari kegemaran manusia untuk menonjolkan identitasnya dan lebih unggul dari bangsa lain. Tamparan ini masih ditambah dengan penggunaan jersey atau seragam pemain dimana tim Indonesia, sebagai tuan rumah, malah dipaksa pakai 2nd uniform putih-hijau sedangkan Belanda tetap menggunakan jersey kebangaannya oranye. Sontak keputusan ini menyulut protes dari banyak rakyat, dan lagi-lagi jawaban promotor tak berbeda dengan sebelumnya.
Hasil pertandingan memang tak terlalu mengecewakan, tim Indonesia bermain cukup baik di babak pertama dan baru drop di sepertiga akhir pertandingan hingga kebobolan 0-3. Bukan hasil yang jadi persoalan, tapi perasaan miris ketika bintang Belanda seperti Arjen Robben cetak gol, maka sorak-sorai juga dari pendukung tuan rumah karena selebrasi dari bintang Bayern Munchen itu. Bayangkan ketika kau datang sebagai bangsa Indonesia dan ikut senang ketika pemain lawan buat gol, maka dimana rasa cinta pada negaramu?
Berbeda kasusnya dengan Arsenal FC yang menggasak tim bernama “Indonesia Dream Team” tujuh gol tanpa balas. Sebetulnya pertandingan ini bukan resmi di bawah payung FIFA. Ini hanya pertandingan eksibisi yang tentu murni orientasinya uang sebab tak mungkin dalam ranah resmi negara melawan club. Namun yang dibingungkan, apakah tak ada perjanjian dengan pihak Arsenal agar tidak sampai mencetak gol lebih dari tiga? Apakah PSSI atau promotor tidak memikirkan mental para pemain nasional jika digelontor gol sebanyak itu? Menyedihkan sekali hanya demi urusan komersial, maka tim nasional jadi dikorbankan. Inikah fungsi para club top elit dunia itu dihadirkan, hanya untuk mempermalukan nama Indonesia? Meski bukan PSSI tim nasional, tapi ada kata “Indonesia” di sana sudah cukup untuk menampar lagi bangsa ini? Di mana harga diri yang tergadai dengan sponsor dan tiket masuk stadion? Stadion yang mengambil nama proklamator bangsa, Ir. Soekarno itu hanya menjadi saksi tim kebanggannya yang jadi bulan-bulanan orang asing.
Namun coba dilihat dari sudut pandang berbeda. Mari lihat dari sudut dimana nasionalisme tidak didramatisir atau mendekati politisasi, dan cukup menempatkan pertandingan itu sebagai kompetisi belaka. Apakah identitas sebagai bangsa hanya diwakili oleh tim sepak bolanya? Jika ingin melihat cabang oleh raga lain, masih banyak andalan seperti Bulutangkis, atletik, Pencak Silat, Tinju, yang tak kalah punya prestasi.
Bahkan menurutku, karena terfokus pada sepak bola dan perseteruannya yang tak kunjung menghadirkan prestasi, pembinaan cabang olah raga lain jadi terabaikan yang padahal punya sejarah mengharumkan nama bangsa. Coba lihat Bulutangkis. Olahraga yang murah dan terbukti beberapa kali berprestasi sampai puncak tertinggi dunia. Jika mau realistis, Bulu tangkis sesuai dengan fostur tubuh orang Indonesia rata-rata yang hanya membutuhkan teknik mumpuni untuk dapat juara. Sedangkan di sepak bola, secara fostur kalah jauh dari bangsa-bangsa Arab atau Eropa yang hampir mutlak tak dapat bersaing sehat. Masihkah mau dilanjutkan?
Lebih jauh, marilah dilihat pertandingan sepak bola lebih jernih tanpa melibatkan rasa emosional sesaat yang sering dikatakan nasionalisme. Nasionalisme itu bukan sekedar nonton sepak bola tim nasional kemudian berteriak-teriak di stadion. Nasionalisme itu bagaimana mencintai negara dan berkontribusi di bidangnya masing-masing. Ketika hasil pertandingan sudah dilihat secara logis, maka seyogyanya evaluasi dilakukan terus oleh tim nasional untuk selalu lebih baik. Bahkan jika mau lihat nasionalisme, berapa banyak legiun asing yang dinaturalisasi untuk bermain di tim nasional? Padahal banyak dari mereka yang belum fasih berbahasa Indonesia atau mengenal negara ini. Tapi nasionalisme tidak sebatas itu, dengan mereka mencintai sepak bola dan mau berkontribusi bagi negara ini, maka darah dan warna kulit tak jadi masalah. Namun apakah betul semuanya tulus bukan hanya karena uang atau di negara asalnya tak cukup kompeten untuk masuk dalam tim nasional? Coba renungkan.(DPM)
Ya.. saya sempat berpikir, seburuk inikah sepak bola Indonesia?
Sekedar masuk Piala Asia saja sudah (sangat) susah..
Entah dimana letak kesalahan persepak bolaan Indonesia