Sekitar lima belas tahun lalu, ketika masa awal mengalami penurunan penglihatan (itu istilah yang lebih suka kugunakan dibanding kebutaan), pernah hampir mati. Ya, mati. Paling tidak, itu menurut orang dan tetangga, bukan aku. Saat itu aku masih usia 12 tahun dan mungkin belum tahu orang yang akan mati itu bagaimana.

Oleh dokter di Jakarta Eye Center, syaraf mataku didiagnosa terkena virus Toksoplasma. Tapi itu kata dokter, karena saat itu bahkan tidak ada tes darah. Tak peduli diagnosa itu benar atau tidak, yang jelas dokter memberi vonis bahwa jika dioperasi pun tak akan membantu banyak. Mungkin hanya 5 atau 10 persen saja perbaikannya.

Bayangkan hal tersebut dikatakan oleh seorang dokter senior di depan seorang anak usia 12 tahun yang saat itu sekolahnya harus berhenti di kelas enam, ditemani seorang bapak yang hingga detik ini tak pernah putus asa mengantarnya untuk pergi berobat. Mungkin jika jadi adegan dalam sinetron, scene dibuat slow motion dengan tatapan tajam sang dokter dan lelehan air mata si anak. Tapi tidak saudara-saudara, syukurnya, dunia tak seberlebihan sinetron. Semua harus dihadapi, dan bapak memilih untuk tidak operasi karena kemungkinannya kecil, dan siapa tahu masih ada harapan berobat ke alternatif jika mata belum pernah ‘diodel-odel’ dokter.

Dalam perjalanan pulang naik motor, bapak mengatakan agar jangan sedih dan nanti tetap berobat aja ke alternatif. Aku saat itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Sedih? Mungkin. Tapi perasaan anak usia 12 tahun masih cukup sederhana. Sambil makan permen Polo, hanya satu hal yang dikhawatirkan yaitu tak dapat lagi melanjutkan sekolah seperti teman lainnya.

Baca juga:  Sulitnya Hidup Semudah Mengubah Sudut Pandang

Ya, sekolah akhirnya berhenti, dan dunia mulai berputar dengan lambat. Hari-hari hanya diisi berada di rumah, sambil meneruskan pekerjaan sebagai seorang kakak dari adik usia tiga tahun yaitu membersihkan rumah, dan sesekali keluar dengan bapak untuk pergi berobat. Hingga pada satu waktu ketika sedang berobat alternatif ke daerah Bintaro aku pernah dianggap hampir mati.

Saat di rumah pernah beberapa hari mengalami sakit kepala yang luar biasa. Mata merah, panas, dan pusing ditambah demam. Waktu itu untuk tubuh anak 12 tahun membuat tak bisa melakukan banyak hal selain memegangi kepala dan berbaring di tempat tidur. Entah itu tahapan apa dalam proses penurunan penglihatanku, tapi yang mungkin dapat aku simpulkan saat ini bahwa ada dampaknya dengan penglihatan di mata sebelah kanan yang jauh berkurang dan penampakannya yang agak bengkak dan menonjol keluar dibanding yang kiri.

Karena tetangga dekat rumah dengar aku sakit pada berdatangan ke rumah. Mereka tentu menemuiku dalam kondisi berbaring dan memprihatinkan. Bahkan ada salah seorang yang menasihatiku yang bahkan berdiri saja tak bisa saat itu agar cukup ingat solat. Meski tak bisa solat karena kondisi fisik yang belum memungkinkan, cukup ingat saja. Belakangan aku berfikir mungkin saja saat itu banyak orang yang sudah menganggap umurku tak panjang lagi. Aku tak tahu apa yang terfikir oleh orang tuaku, mungkin juga sama. Tapi aku tak mau dan perlu untuk menanyakannya.

Alhamdulillah setelah beberapa hari, aku dapat bangkit lagi. Bapak senang sekali ketika pulang kerja dan menemuiku sudah solat lagi dengan tata cara yang semestinya tentunya. Pusing sudah tidak lagi, tapi penglihatan yang makin menurun itu yang jadi konsekuensinya. Hidup kembali berjalan lambat. Aku mengerjakan lagi hobi mengisi waktu dengan nyapu dan ngepel rumah yang meski tanpa penglihatan jelas, hasilnya tetap bersih. Kan terasa lantai bersih atau kotor ketika diinjak.

Baca juga:  Ramalan Bintang Bikin Hidupmu Jadi "Pasaran"

Ya, mungkin aku pernah dianggap hampir mati oleh orang-orang saat itu. Tapi aku yakin bahwa kematian itu ada di tangan Allah. Ia dapat datang dalam kondisi apapun, bahkan yang tak pernah diduga oleh manusia. Selama hayat masih dikandung badan, yang dapat kita lakukan hanyalah berikhtiar seoptimal mungkin. Meski jalan tersaruk dan tersendat, asal tetap bergerak maju ke depan, itu tak jadi soal.(DPM)