Tangerang – Alhamdulillah kembali diberi kepercayaan untuk memberikan pelatihan disability equality training ke para peserta workshop Penanggulangan Gangguan Fungsional dengan Pendekatan ICF yang diadakan oleh Kementrian Kesehatan RI di Hotel Horison Bekasi (17-02-2017). Ini jadi pengalaman yang cukup menantang karena dapat dikatakan ini praktik lapangan DET pertama setelah di akhir 2016 ikut serta dalam IQP untuk tim BEAT di AirAsia Academy Malaysia.

Awalnya saya dihubungi oleh mas Ridwan Soemantri via email untuk bersama mengisi pelatihan mengenai interaksi petugas kesehatan dengan penyandang disabilitas di fasyankes atau fasilitas layanan kesehatan. Mas Ridwan diundang oleh CBM Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas, yang saat ini menjadi salah satu mitra dari Kementrian Kesehatan. Mas Ridwan diminta untuk memberikan training selama kurang lebih 2 jam mengenai cara interaksi dengan penyandang disabilitas. karena menurut mas Ridwan yang baik kurang lengkap jika hanya pengguna kursi roda yang memberikan training, maka diajak pula saya yang tunanetra. Sehingga paling tidak dari 4 jenis disabilitas yang biasanya jadi trainer di tim Beat, paling tidak ada dua agar representatif.

Acara ini diselenggarakan oleh Subdit Gifu atau Subdit Gangguan Indera dan fungsional, direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular, Kementrian Kesehatan RI. Salah satu bidang yang ditangani adalah mengenai disabilitas. Karena dari perspektif kesehatan, disabilitas didefinisikan sebagai gangguan struktur dan fungsi dari indera seseorang. Jadi pesertanya pun selain dari perwakilan direktorat, juga ada dari 15 dinas kesehatan berbagai provinsi terpilih, dan lintas sektor seperti Himpunan Psikolog Indonesia.

Sesuai dengan judulnya, kami diharapkan dapat memberi pemahaman ke para petugas kesehatan di daerah-daerah bagaimana berinteraksi dan melayani penyandang disabilitas yang menggunakan fasilitas layanan kesehatan. Karena hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang layak jadi milik seluruh warga negara, tak terkecuali penyandang disabilitas yang sudah dijamin dalam UU no 8 tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.

Baca juga:  AirAsia, Maskapai Pertama Mengadakan Disability Equality Training

Untuk materi sendiri kami tidak terlalu mengalami kesulitan. Sebab cukup gunakan slide-slide dari hasil IQP di AirAsia Malaysia tempo hari, dengan sedikit penyesuaian saat penyampaian. Sebab untuk cara interaksi dengan penyandang disabilitas itu secara umum sama. Karena dimulai dengan mengubah mindset, lalu cara berkomunikasi, dan pendampingan yang sesuai.

Mindset adalah hal pertama yang harus diluruskan. Untuk para petugas kesehatan, harus memandang penyandang disabilitas yang datang ke fasyankes sama seperti manusia normal pada umumnya yang membutuhkan layanan kesehatan. Layanan ini tidak serta merta terkait dengan keterbatasan fisik yang dimiliki. Misal seorang tunanetra datang ke rumah sakit atau Puskesmas, jangan langsung diasumsikan bahwa dia ingin mengobati matanya. Ada kemungkinan bahwa dia ingin berobat sakit-sakit yang seperti masyarakat pada umumnya seperti flu, batuk, dll.

Lalu mengenai cara komunikasi. Tak ada yang berbeda ketika komunikasi dengan penyandang disabilitas. Cukup gunakan bahasa normal pada umumnya, dan berbicara langsung ke orangnya. Dapat gunakan sentuhan ke punggung tangan untuk memulai pembicaraan untuk menandakan bahwa petugas kesehatan sedang berbicara dengannya. Yang penting jangan pernah berbicara melalui orang lain seakan-akan penyandang disabilitas punya kemampuan komunikasi yang berbeda dengannya.

Terakhir adalah cara pendampingan. Ingat untuk membantu penyandang disabilitas cukup dengan pendampingan, khususnya saat mobilisasi. Misal untuk membantu seorang tunanetra berjalan, dia bukan butuh dipapah, tapi didampingi dan diarahkan untuk berjalan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Mengenai beberapa tips memandu dari mulai cara kontak dan menyapa, berjalan, menuntun melewati pintu, dan mengarahkan ke tempat duduk secara sederhana dapat dicontohkan ke para peserta.

Bersyukurnya para peserta yang merupakan pejabat-pejabat di bidang kesehatan cukup antusias mengikuti pelatihan dan ada beberapa pertanyaan menarik di akhir sesi. Ada mereka yang heran ketika menemui mas Ridwan dan saya yang dinilai cukup intelektual. Malah menyangka jangan-jangan karena menjadi disabilitas malah dapat jadi seorang intelek. Tentu hal itu kami bantah dengan sopan. Karena kami merupakan contoh beberapa orang yang beruntung dapat pendidikan layak dan aktif di organisasi disabilitas. Sedang masih banyak disabilitas di luar sana, yang tentu sering ditemui para petugas kesehatan, yang tidak memperoleh pendidikan dan kesempatan baik.

Baca juga:  Profil BEAT Indonesia

Ada juga yang menanyakan apakah penyandang disabilitas juga menikah dan berkeluarga. Di isu disabilitas, hal ini sering menjadi pertanyaan di masyarakat. Karena penyandang disabilitas kerap dianggap manusia tidak normal yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Tentu hal ini kami jawab bahwa penyandang disabilitas juga manusia normal yang pastinya dapat menikah dan berkeluarga. Bahkan hubungan tersebut tidak hanya dengan sesama penyandang disabilitas, ada pula yang menikah dengan non-disabilitas, tergantung di lingkungan mana mereka sering bersosialisasi. Sedang dari perspektif seorang jomblo seperti saya, saya coba jawab saja secara diplomatis bahwa soal menikah itu, semua akan indah pada waktunya :D.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan terima kasih ke CBM Indonesia yang saat itu ada mas Adrian di lokasi yang mendampingi. Terima kasih juga ke Subdit Gifu Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kementrian Kesehatan RI. Terima kasih karena sudah menambahkan sesi disability equality training ini di workshop yang diadakan, karena penting sekali para penyandang disabilitas mendapatkan layanan kesehatan yang memadai oleh para petugas kesehatan di seluruh Indonesia. Semoga dapat bermanfaat dan menginspirasi para peserta. (DPM)