Adelaide – Judul tulisan ini selintas bernada provokatif dan meremehkan. Tapi bukan begitu yang aku maksud. Mengapa perempuan harus dipelajari karena mereka memang penting, dan kita semua lahir dari rahim seorang perempuan. Perempuan yang aku pelajari ini terkemas dalam isu gender, pokoknya bukan terkait sama hal-hal galau dan pasangan ya. Yup, dan di sinilah aku, belajar isu gender dan disabilitas selama tiga bulan di kota Adelaide. Aku akan coba share secara singkat mengenai deskripsi program yang diikuti dan proses mendapatkannya.
Bermula dari kontak seorang pengurus Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) mas Made Adi Gunawan yang menawarkan kesempatan untuk short course mengenai isu gender and disability di Australia. Saat itu, ia memintaku untuk mengisi form yang dikirimkan via email dan juga CV. Dari form tersebut, tertera informasi mengenai deskripsi, objektif, dan hasil yang diharapkan dari program. Programnya bernama Australian Leadership Awards (ALA) Fellowships yang diseponsori oleh AusAID, dan diselenggarakan oleh Gender Consortium, School of International Studies Flinders University di Adelaide, South Australia. Tema yang diangkat dalam kegiatan adalah Enabling Social Inclusion Responsive Good Governance: Gender and Disability.
Training intensif selama 12 minggu ini bertujuan untuk mengembangkan leadership skill para emerging leaders di empat negara berkembang Asia Pasifik yaitu Indonesia, Kamboja, Mongolia, dan Vietnam. Kegiatan berupa pelatihan intensif, field visit, guest speaker dialogue, mentoring session, dan membuat policy paper serta action plan yang akan diimplementasikan oleh peserta maksimum 3 bulan setelah kembali ke negara asal. Program diselenggarakan bekerja sama dengan counterpart yang ada di tiap negara, dalam hal ini Indonesia diwakili oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA).
Sedangkan Australia Leadership Awards (ALA) yang kini beralih nama Australia Awards Fellowships adalah program capasity building yang diberikan oleh pemerintah Australia melalui AusAID untuk emerging leaders di negara-negara kawasan Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Mungkin sejauh ini yang sering didengar dan jadi salah satu target para pemburu beasiswa adalah Australia Awards Scholarship yang dahulu bernama Beasiswa ADS atau Australia Development Scholarship. Beasiswa ini memang cukup high-prospect karena memberikan kesempatan bagi perseorangan dan PNS untuk melanjutkan studi master atau Doktor di universitas-universitas seantero Australia. Namun untuk program fellowship, AusAID tidak membuka untuk aplicant umum, melainkan harus melalui kerja sama host organization di Australia dan counterpart di negara sasaran.
Di Indonesia, pihak host organization, yakni Gender Consortium Flinders University, bekerja sama dengan KPP-PA untuk merekomendasikan kandidat yang akan mengikuti fellowship. Sebab tema short course adalah Gender and Disability, maka peserta diharapkan berasal dari mereka yang jadi stake holders di dua isu tersebut. Terkait dengan isu disabilitas, ada PPDI dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) yang menjadi mitra KPP-PA. Jadi proses rekrutmen tidak secara terbuka, melainkan rekomendasi dari organisasi. Bahkan ada kecenderungan bahwa yang mengikuti program haruslah karyawan, pengurus, atau minimal volunteer dari organisasi tersebut. Seperti aku yang di dalam formulir ternyata ditambahi keterangan item volunteer di divisi komunikasi PPDI meski tak pernah terlibat langsung secara aktif.
Proses seleksi memakan waktu cukup lama. Sekitar awal 2012 mengirimkan formulir dan CV ke PPDI untuk kemudian diteruskan ke pihak KPP-PA dan Flinders, baru di bulan Mei 2013 aku dihubungi mengenai kepastian penyelenggaraan short course. Bahkan info di formulir yang sebelumnya menyebutkan bahwa short course sekiranya diadakan pada bulan April – Juni 2013, molor jadi di bulan September – November. Namun sebetulnya ini juga ada hikmahnya, karena di bulan September – November bertepatan dengan spring atau musim semi, sedangkan April – Juni sudah masuk peralihan authum ke winter. Belum kebayang bagaimana dinginnya, pas spring aja masih lumayan dingin.
Terus, usut punya usut, termasuk ngobrol dengan alumni fellow dari Indonesia pada program 2010, sebab proses seleksi yang terkesan lama adalah sistem pemberian grant di Australia yang sangat kompetitif. Ketika di awal 2012 kami mengisi formulir, itu sebetulnya mereka belum punya kepastian grant. Gender Consortium lakukan dulu proses seleksi dan mapping peserta, untuk kemudian diajukan ke pihak AusAID beserta proposal program yang akan diajukan. Kompetisi cukup ketat, karena banyak host organization yang juga mengajukan program. Namun karena Gender Consortium sudah langganan memperoleh grant fellowship ini sejak tahun 2007, jadi mereka sudah punya reputasi baik.
Nah, buat kamu yang juga punya kesempatan untuk mengikuti program serupa, harus bersabar ya. Sebab bukan tak mungkin waktu pelaksanaan diundur, atau bahkan tak ada kabar follow up sama sekali. Aku saat itu pun sudah hampir lupa bahwa pernah apply untuk fellowship tersebut, hingga di bulan Mei mbak Irma Sanusi dari KPP-PA menghubungiku untuk konfirmasi mengenai keikutsertaan. Lantas buat kamu yang punya minat di bidang lain seperti pendidikan atau kesehatan, coba cari informasi tersebut di internet atau koordinasi dengan organisasi tempatmu bekerja atau volunteering. Fellowship ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mengembangkan kemampuan, memperluas networking, pertemanan, dan pastinya juga jalan-jalan. hehe. Selain itu, allowance dan akomodasi juga cukup baik agar kita merasa nyaman, feeling like home, jauh dari keluarga dan orang-orang yang dicintai selama 5 atau 12 minggu.
Ternyata masih belum cukup post kali ini menjelaskan overall program ALA Fellowship 2013 yang aku ikuti. Di kesempatan berikutnya akan aku jelaskan lagi apa saja kegiatan selama short course. Jika ada pertanyaan, seperti biasa, sampaikan di kolom komentar ya.(DPM)
INSPIRING KAK 🙂
terima kasih ya sudah membaca.