Perhatian masyarakat Indonesia beberapa pekan ke belakang tertuju pada Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Kedatangan tim-tim sepak bola elit dunia menjadi bahan pembicaraan dari mulai yang pro dan kontra. Pekan lalu, GBK menjadi saksi diluluh-lantahkannya tim bernama “Indonesia Dream Team” oleh Arsenal FC 0-7. Aku membuat opini pada pertandingan tersebut dalam esai Garuda, Sepak Bola, dan Identitas Semu. Lalu malam ini, pertandingan tim bernama Indonesia Eleven melawan Liverpool FC tak kalah menggelitik tanganku untuk mengetik sesuatu. Berawal dari twit-twit, ada isu mengenai harkat bangsa yang cukup esensial di luar jalannya pertandingan yang berakhir 0-2 untuk kemenangan Liverpool.

Pertama, adalah persoalan nama tim lawan dari Liverpool FC dengan mengambil nama Indonesia Eleven. Ada pola yang serupa ketika melawan Arsenal FC dengan Indonesia Dream Team, dan nanti untuk lawan Chelsea FC dengan BNI Indonesia. Menurutku,  menjadi sebuah masalah ketika dalam pertandingan persahabatan melawan club, maka tetap digunakan nama sebuah negara. Ada kesan menjual nama Indonesia hanya demi keuntungan pihak-pihak yang meraup keuntungan dari sponsor dan tiket pertandingan. Tim Indonesia dalam pertandingan hanya berperan sebagai figuran dengan aktor utama tim-tim BPL demi menghibur fans.

Secara resmi FIFA, pertandingan antara Indonesia dengan Arsenal dan Liverpool tidak masuk dalam agendar resmi karena hanya bersifat eksibisi. Tak dapat di ranah resmi sebuah negara melawan club, maka para pemain yang seharusnya adalah tim nasional Indonesia, dibuat seakan-akan entitas yang berbeda. Sebab dari sisi pemain tak ada bedanya. Bahkan pelatih dipegang Jacson F Tiago yang merupakan pelatih tim senior PSSI. Kerap pula disebutkan oleh para komentator bahwa pertandingan ini sebagai persiapan tim nasional dalam kualifikasi Piala Asia.

Baca juga:  Satu Persamaan saja Cukup untuk Menyatukan Seribu Perbedaan

Bayangkan ketika 80.000 lebih penonton datang ke stadion kebangaan Indonesia, malah mendukung tim lawan. Sangat gempar gempita teriakan-teriakan “Liverpool.. Liverpool..” sepanjang pertandingan. Mereka bersorak-sorai ketika pemain Liverpool menyerang gawang Kurnia Meiga dan bergembira ketika terjadi gol. Bahkan kejadian langka di GBK yaitu penonton yang tidak meninggalkan kursi stadion sampai semua pemain Liverpool masuk ruang ganti.

Ada kebangaan yang dilontarkan oleh komentator dengan fakta bahwa fans Liverpool di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, melampaui di Inggris. Namun tak sadarkan tim nasional kebangaan kita hanya dijadikan lumbung gol atau kasarnya alat pemuas para fans yang mencintai club idolanya? Meski bukan dikatakan tim nasional, tapi dengan mendompleng kata “Indonesia” di sana, orang paling awam pun akan berfikir bahwa yang bermain itu adalah Indonesia lawan Liverpool. Tim nasional hanya jadi bulan-bulanan, dan penonton bergembira saat pemain Liverpool cetak gol yang juga berarti Indonesia kebobolan.

Sedih rasanya ketika pertandingan persahabatan yang sudah tahu siapa pemenangnya itu terjadi pada tim yang menyandang nama Indonesia. Makin prihatin seperti pekan lalu tim Indonesia Dream Team dibantai Arsenal FC tujuh gol tanpa balas. Semua juga tahu bahwa tim-tim elit Eropa bukan lawan sebanding dengan timnas Indonesia. Pertandingan persahabatan itu fungsinya mencari sparring partner untuk mengukur kemampuan sekaligus meningkatkan mental pemain. Jika lawan yang dihadapi beberapa puluh tingkat di atas atau di bawah, maka efeknya hanya akan menghancurkan mental atau membohongi diri sendiri. Kasus dengan Arsenal dan Liverpool dapat berpotensi menghancurkan mental pemain tim nasional. Masih untung sepertinya promotor sempat berfikir untuk melarang Liverpool agar tidak cetak gol lebih dari tiga.

Baca juga:  Alasan Pertama Mulai Ngeblog

Ke depan, sebaiknya jangan lagi mendompelng nama bangsa untuk pertandingan yang hanya berorientasi komersil dan hiburan. Aku sebagai anak bangsa merasa nama Indonesia tergadaikan hanya untuk kepentingan sekelompok orang. Cukuplah pakai nama ISL all star atau langsung lawan club lokal untuk pertandingan-pertandingan seperti ini. Tak perlu jual nama Indonesia meski memang itu yang paling menjual. Ironis ketika para penonton yang mayoritas berambut itam, tapi bersorak-sorai memanggil nama club asing, bukan tim nasional yang selama ini dibangakan. Nasionalisme ini seakan tergadaikan hanya dengan kemilau bintang-bintang lapangan hijau dari negeri asing.(DPM)