Tangerang – Menutup bulan Februari lalu, Alhamdulillah kembali terlibat dalam focus group discussion (FGD) yang dapat menentukan arah pengembangan tata kelola pemerintahan berbasis elektronik Indonesia ke depan. Diskusi ini bertema Validasi Desk Study Penerapan Open E-Governance Index di Indonesia. Saya datang mewakili Kartunet atas undangan yang diberikan oleh mas Indriarto Banyumurti yang baik dari ICT Watch. Bersyukur karena pengembangan Open E-Governance ini harus melibatkan semua pihak, termasuk suara dari penyandang disabilitas.

Acara yang diadakan di Hotel Ibis – Tamarin, Jalan Kh Wahid Hasyim Jakarta, mengundang sekitar 20 orang sebagai peserta FGD. Mereka berasal dari pelaku usaha di bidang digital, pemerintah, legislatif, partai politik, perwakilan organisasi masyarakat, dan stake holder lainnya. Sebab penerapan E-governance atau tata kelola berbasis elektronik, bukan hanya untuk pemerintah saja, tapi juga semua pihak yang berkepentingan dalam pembangunan. Para peserta diskusi ini bertugas untuk memvalidasi Open e-Governance Index (OeGI) yang sudah dibuat dari sebuah hasil penelitian, dengan kondisi real yang ada di indonesia dari berbagai aspek.

E-Governance adalah “series of activities composed of coordinating, arbitrating, networking and regulating with and of ICTs, not only the state, but also non-state actors, including business, civil society and communities”. Dengan demikian, konsep e-governance tak hanya soal e-government, karena melibatkan aktor-aktor non pemerintah, dan untuk segala kegiatan yang melibatkan semua stakeholders.

Keterbukaan (Openness) sebagai nilai “politik” yang melandasi hak asasi manusia (HAM) dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang inovatif untuk dalam mendukung demokrasi. Namun demikian, pengukuran mengenai konsep keterbukaan dalam bentuk “Open eGovernance” masih banyak yang belum dilakukan. Banyak sistem indikator yang dikembangkan saat ini misalnya E-Government Index, E-Government Survey, E-Readiness Index, ICT Development Index, Networked Readiness Index yang hanya fokus pada penggunaan aktual TIK hanya pada sektor bisnis dan sektor pemerintahan.

Baca juga:  Yang Tak Terucap saat Bertemu pak Ahok

Pengukuran tersebut belum akomodatif terhadap ekosistem sosial budaya dan ekonomi politik dan lingkungan legal dan politik dalam strategi penggunaan TIK. Kurangnya kerangka legal/kebijakan/regulasi yang memiliki konsep keterbukaan seperti “open spectrum”, “open data”, dan “open content”.

Untuk itu, project dengan judul Evolving a Global Open eGovernance Index (OeGI) for Network Societies dilaksanakan di lima negara, yaitu Filipina, Pakistan, India, Indonesia (Asia) Uganda (Afrika) Dan Kolombia (Amerika Selatan).

Didukung oleh Making All Voices Count (FMA), sebuah proyek global yang bekerja untuk kepemerintahan yang partisipatoris, efektif, dan terbuka di seluruh dunia, dengan beberapa proyek bersama partner HIVOS, SIDA, DFID, USAID, Omidyar Network, dan juga ICT Watch memulai project ini pada tahun 2016 dan akan berakhir di Maret 2017.

Kegiatan project ini mengembangkan konsep baru mengenai Open eGovernance yang mengintegrasikan TIK dengan “masyarakat berjejaring (network society). Dimana konsep ini melakukan : pemutakhiran assessment tool dan framework, memgembangkan indikator-indikator pengukuran/metriks untuk domain-domain pada Open eGovernance, mengetes tools yang bru, merevisinya, di beberapa negara di Asia, mengonsolidasikan hasil tes implementasi untuk memperkuat OeGI, serta melakukan advokasi perubahan kebijakan terkait eGovernance dan menyediakan rekomendasi kebiajakan untuk memastikan adopsi pemerintah terhadap eGovernance.

Diskusi dibuka dengan pemaparan dari pemeliti Filipina mengenai Open e-Governance Index. Dia menjelaskan mengenai asesment tool dan metodologi yang digunakan untuk mengukur indeks ini.
Dalam assessment tool, terdapat 5 (lima) dimensi yang diukur dari penerapan eGovernance. Yaitu :

  1. Meshed eGovernment: refers to government policies and programs that would enable the development of citizen-facing applications or front-office eGovernance mechanisms;
  2. eParticipation channels: refers to the provision of on-line services to the general public;
  3. Digital inclusion: refers to universal access regulations that allow for wider public ICT use
  4. ICT empowered civil society: refers to the use of ICTs by civil society organizations;
  5. Enabling Environment: refers to the presence of power structures that constrain/socio-economic freedoms that allow for greater use of ICTs and the wide range of policies that allow access of the general population to information and knowledge.

Metodologi OeGI menggunakan assessment tool yang dirancang untuk negara-negara yang dijadikan contoh test implementasi OeGi, dimana setiap item dalam assessment tools memiliki skor antara 0 sampai 1, tergantung pilihan responden. Skor “dimensi” dikalkulasi sebagai sum dari mean item skor dari responden. Untuk itu, setelah melakukan desk study mengenai pertanyaan-pertanyaan pada scoresheet assessment tools, maka diperlukan “Validasi oleh pakar/informan” terkait untuk memastikan riset mengenai penerapan OeGI tersebut sesuai/cocok dengan tanggapan para pakar/informan sebagai peserta FGD.

Kehadiran saya dalam FGD tersebut untuk memberikan gambaran mengenai akses teknologi dan internet secara di kalangan penyandang disabilitas. Secara khusus, isu aksesibilitas internet dihadapi oleh para tunanetra karena ada keterbatasan visual. Makin terbukanya informasi dan kehadiran software pembaca layar yang open source seperti NVDA dan gadget-gadget Android yang mudah, membuat akses tunanetra ke informasi makin tinggi. Bahkan banyak di kalangan tunanetra saat ini yang sudah mampu akses internet dan Facebook, karena menggunakan Adroid yang dilengkapi aplikasi pembaca layar Talkback, tapi belum dapat mengoperasikan komputer dengan program Office.

Akan tetapi saya memberikan catatan dalam diskusi tersebut bahwa kondisi itu tidak merasa di seluruh daerah. Masih banyak para penyandang disabilitas di pelosok yang belum akses ke teknologi dan internet. Pertama karena faktor kondisi ekonomi yang memungkinkan. Kedua karena tidak adanya paparan ke informasi oleh pihak keluarga bahwa seorang dengan disabilitas pun dapat mandiri dan produktif dengan teknologi. Bahkan mereka ini terkadang tidak masuk dalam sensus penduduk karena pihak keluarga yang merasa malu atau tidak mengakui jika memiliki anggota yang disabilitas.

Buat saya peran Kartunet dalam kegiatan ini sangat penting dan strategis. Sebab indeks ini ke depan akan menilai seberapa jauh tingkat openess e-Governance yang sudah diterapkan di Indonesia. Dari metodologi yang digunakan juga akan terlihat pada sektor mana yang sudah baik dan perlu ditingkatkan. Berharap pemerintah dan para stake holder akan melihat dan memberikan perhatian sehingga semua penyandang disabilitas dapat akses ke teknolog dan internet. Sebab melalui media tersebut mereka dapat membuka diri ke dunia dan mengaktualisasi dirinya. (DPM)