Alhamdulillah ini tulisan saya kedua yang dimuat di harian koran sindo. Ternyata bukan semata-mata kualitas dari tulisan itu sendiri yang membuat dimuat. Namun perlu timing yang tepat. Sebelumnya tulisan yang sama kirim pada malam hari sekitar jam 11 malam. Keesokan harinya saya tak menemukan tulisan saya dimuat. Namun tulisan ini saya kirim lagi beberapa hari kemudian di siang hari. Bersyukur dimuat juga. hehe. Anyway, silakan baca dan beri komentar ya netters.
Buku besar sejarah manusia telah mencatat peranan kaum intelektual dalam tumbuh kembangnya suatu bangsa. Di seantero dunia, kita dapat mengingat modernisasi di India yang dipelopori cendekia Mahatma Ghandi, perjuangan kemerdekaan Filipina terhadap Amerika Serikat yang dimotori oleh Jose Rizal, dan tak lupa pula revolusi China dari masa dinasti ke era republik oleh Dr Sun Yaet Sen. Tak ketinggalan kaum terpelajar di Indonesia prakemerdekaan. Berdirinya organisasi pergerakan baik dalam atau luar negeri, media-media cetak penghembus angin nasionalisme, dan sumpah pemuda menjadi bukti eksistensi mereka.
Pemuda sebagai elemen dalam masyarakat yang dianugerahi gelar agent of change, memiliki tanggung jawab terbesar terhadap kemajuan bangsa. Tumbuh kembang dan hancurnya suatu bangsa, ditentukan oleh golongan muda di dalamnya.
Dewasa ini, peranan pemuda dimanivestasikan dalam sosok mahasiswa. Element terkecil dalam masyarakat, namun mampu melakukan pergerakan dan revolusi. Sejarah menyaksikan peranan mahasiswa di pascagerakan 30 September 1965. Mereka melihat kebobrokan pemerintah yang tidak mampu mensejahterakan rakyat meski telah 20 tahun merdeka. Hati mereka tergugah, dan bermuara pada lahirnya Tritura atau tiga tuntutan rakyat.
Momen ini kembali terulang. Mahasiswa serentak turun ke jalan ketika krisis moneter menggoncang sendi-sendi perekonomian masa orde baru yang terlihat kokoh di luar, ternyata amat rapuh di belakang. Mereka menuntut diadakannya reformasi menyeluruh . Pemerintahan pimpinan mantan Presiden Soeharto dinilai terlampau otoriter, tidak transparan, dan korup. Sebagai mulut suara hati rakyat, mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Soeharto dan menancapkan tonggak pemerintahan yang lebih demokratis.
Kini di kala iklim demokrasi mulai menaungi Indonesia, bukan berarti tugas mahasiswa berakhir. Malah di sinilah peranan mahasiswa sangat diperlukan dalam mengawal berjalannya praktik berdemokrasi yang ideal. Jika kita asosiasikan, peranan mahasiswa layaknya elang penjaga langit demokrasi. Mampu terbang tinggi di angkasa namun tetap menatap tajam ke bumi. Tak ada yang luput dari mata elang yang tajam, bahkan sewaktu-waktu ia dapat menukik cepat dan tepat sasaran.
Seperti itu pula mahasiswa di era reformasi ini. Keadaan dimana pemerintahan telah ditata dengan perangkat hukum yang demokratis, mahasiswa harus berada di garda terdepan dalam fungsinya sebagai kontrol sosial. Terbang tinggi ke angkasa, jauh dari dunia pemerintahan. Karena Soe Hok Gie pun mencatat dalam buku hariannya, seorang aktivis mahasiswa yang serta merta dimasukan dalam kekuasaan, idealismenya akan luntur dan tak beda adanya dengan para pemegang kekuasaan. Sebagai insan yang memiliki prinsip ideal, sudah seyogyanya mahasiswa berada jauh-jauh dari rangkulan kekuasaan. Dalam taraf ini, mahasiswa perlu menjaga jarak, namun tetap mengawasi gerak-gerik pemerintah dengan penglihatan yang super tajam.
Lebih jauh lagi, bukan saatnya kini untuk ramai-ramai turun ke jalan dan berdemonstrasi. Mahasiswa sebagai kaum intelektual harus memiliki konsepsi dan mengungkapkan ide-idenya dengan cara yang lebih elegan. Melakukan diskusi, kajian, dan menulis adalah cara yang paling efektif. Kita manfaatkan kemerdekaan media massa yang ada untuk turut mengawasi pemerintah. Pemikiran yang kritis dan objektif, sudah menjadi harga mati bagi mahasiswa jika ingin melihat republik ini eksis untuk puluhan tahun ke depan.
Oleh karena itu, marilah para mahasiswa, agent of change, kaum intelektual bangsa tuangkan pemikiran kritis kita dalam bentuk tulisan. Seperti ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa pena itu dapat lebih tajam dari pedang. Namun sekali waktu, elang penjaga langit demokrasi ini juga dapat menukik ke bumi untuk membuat sebuah gerakan jika memang diperlukan. Mahasiswa tak akan pernah berhenti bergerak selama bangsa ini masih memiliki cita-cita.
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/271575/
jadi mulailah dari lingkungan terkecil dulu ya.
terima kasih ya sudah berkunjung 🙂
Betul, sebagian mahasiswa hanya bisa berorasi namun belum bisa memberi bukti. Berteriak anti korupsi namun di kampus masih bertindak korup (mencontek, misalnya). Sebagai agent of change seharusnya bisa membawa perubahan untuk lingkungan sekitar 🙂
Bener banget. Saat ini mahasiswa yg mau nulis selain nulis tugas makin minim. Ngeblog aja pada males. Padahal menulis kan mengabdi pada keabadian 🙂
kutunggu kunjungan baliknya 😀