“No Worries”

Jakarta – Tanggal 3 Desember bertepatan dengan Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Tiap tahun hari ini dijadikan momentum dunia untuk menyadarkan bahwa penyandang disabilitas ada di tengah-tengah masyarakat, dengan semua hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dan perlindungan yang diperlukan agar menjadi manusia yang seutuhnya. Baik di negara maju atau berkembang, masalah yang dihadapi penyandang disabilitas sama yaitu diskriminasi. Manum ada prinsip mendasar yang menurutku membedakan antara penduduk yang pemahamannya mengenai masyarakat inklusif sudah maju dan belum. Dari pengalaman singkatku di Adelaide, Australia selama tiga bulan, bukan fasilitas atau infrastruktur yang utama, melainkan sikap dan pola fikir masyarakatnya.

Penduduk negara maju seperti Australia, punya pola fikir yang lebih terbuka. Sebelumnya aku sempat berfikir bahwa mereka tentu lebih banyak tahu mengenai disabilitas dibanding masyarakat negara berkembang. Akan tetapi anggapanku salah bahwa mereka juga sama tidak tahunya dengan kita. Satu hal yang menjadi pembeda adalah mereka tak sungkan untuk bertanya. Seperti pengalaman teman yang juga tunanetra dan sedang mengambil program master di Adelaide. Ia pernah satu kali bertemu dengan orang Australia dan mengobrol mengenai kondisi penglihatan dia dan apa kegiatannya. Tak sungkan orang itu bertanya mengenai bagaimana dia menjalani kuliahnya, dengan alat bantu apa ia dapat mandiri. Ini sebetulnya agak mengejutkan karena kita biasa impor alat-alat bantu dari negara maju, tapi mereka pun tak begitu tahu mengenai alat-alat tersebut. Tapi poin positifnya adalah mereka mau bertanya, dan tidak underestimate duluan.

Agak berbeda dengan situasi di negara berkembang seperti Indonesia. Disabilitas masih dianggap sebagai sesuatu yang memalukan atau mungkin kutukan. Tak kurang menemui orang ketika ingin bertanya mengenai disabilitasnya maka diawali dulu dengan kata maaf. Seakan takut hal tersebut dapat menyinggung. Tapi yang biasa terjadi pula bahwa keengganan untuk bertanya itu diikuti dengan kesimpulan yang dibuat sendiri mengenai si penyandang disabilitas. Misal ketika melihat tunanetra, image yang terbentuk adalah bahwa ia pasti tukang pijat. Jadi, rasa tabu dan kengganan itu sebetulnya merugikan bagi masyarakat yang berujung hanya pada rasa belas kasihan.

Baca juga:  Resolusi Hidup dan Visi Musim 2013-2014

Selain itu, perbedaan yang mencolok juga pada sikap. Ketika menemui penyandang disabilitas, biasanya mereka tidak langsung menolong atau membiarkan. Mereka akan mengajak berkomunikasi terlebih dahulu dengan menanyakan apa perlu dibantu, dan bantuan apa yang dibutuhkan. Misal ada seorang tunanetra yang bertanya posisi sebuah tempat kepada orang Australia. Mereka akan menawarkan “would you like me to take you there, or I just give you the direction”. Hal sederhana itu merupakan sebuah bentuk penghargaan bagi penyandang disabilitas. Mereka menawarkan opsi, yang secara tidak langsung menjaga kemandirian penyandang disabilitas untuk menentukan pilihannya.

Berbeda lagi dengan di Indonesia. Budaya komunal yang dimiliki bangsa ini, membuat sikap gotong-royong dan tolong-menolong bukan hal asing lagi. Ini sebetulnya dapat jadi potensi yang besar untuk membangun masyarakat inklusif, sayangkan belum diarahkan secara masif. Ketika menolong penyandang disabilitas, biasanya kurang adanya komunikasi. Misal ada tunanetra yang terlihat ingin menyeberang, tanpa tanya-tanya, langsung saja lengan si tunanetra ditarik untuk diajak menyeberang. Bahkan terkadang, malah ujung tongkat dipegang dan diangkat lantas ditarik seperti menarik mobil-mobilan. Mungkin niat sudah baik, tapi tanpa komunikasi bisa jadi cara yang diterapkan salah, atau mungkin juga tunanetra tersebut bukan ingin menyebrang tapi menunggu angkot.

Terakhir, satu hal lagi yang penting adalah konsepsi mereka bahwa disabilitas itu bukan sesuatu yang terpisah dari hidup tiap orang. Mereka bukan anggap ada penyandang disabilitas dan non-disabilitas, tapi belum-disabilitas. Disabilitas dianggap sebagai sesuatu yang bukan tak mungkin dapat terjadi pada tiap orang. Disabilitas bukan sesuatu yang hanya didapat sedari lahir. Ada yang dari kecelakaan, penyakit, atau faktor lainnya. Maka, ketika mereka membayar pajak dan tahu bahwa pajak itu digunakan untuk membangun fasilitas aksesibilitas atau jaminan bagi penyandang disabilitas, hal tersebut tak jadi soal karena siapa tahu suatu hari nanti mereka membutuhkannya.

Baca juga:  Experience from ALA Fellowship Program Gender and Disability

Semua ini seperti kebiasaan orang Australia yang sering mengatakan “No Worries”, baik untuk membalas ucapan terima kasih atau pemberian maaf. Memang agak aneh bagiku, sebab rumusnya ucapakan “thank You” dibalas dengan “you’re welcome” atau “nevermind”. Tapi orang Australia gemar sekali untuk mengatakan “no worries”. Hal itu seperti ingin menegaskan bahwa “no worries” untuk perbedaan, “no worries” untuk ketidak-sempurnaan. Semua sama-sama manusia yang punya potensi dan kelebihan masing-masing.(DPM)

2 Comments

  1. ok, no worries kak, untuk pelajaran kedepannya tanyakan dulu sebelum membantu orang lain 🙂

  2. betul. Karena sesuatu yang baik belum tentu benar, tapi ssuatu yang benar sudah pasti baik tergantung bagaimana penerimaannya 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *