Tangerang – Belakangan ini kembali memanas konflik antara transportasi konvensional dengan transportasi berbasis online. Transportasi konvensional yang diwakili oleh supir angkot dan taksi mengeluhkan berkurangnya pendapatan mereka akibat kehadiran transportasi online. Lantas Organisasi Angkutan Darat (Organda) muncul di media-media dan mengatakan bahwa ada ketidak-adilan yang harusnya diatur oleh pemerintah. Adil menurut siapa? Untuk rakyat sebagai pengguna atau para pemilik modal? Lalu mengapa Organda terkesan selalu muncul ketika bicara soal tarif transportasi online yang dinilai terlalu murah?

Organda, khususnya sebelum kehadiran penerbangan murah LCC atau low cost carrier dan maraknya transportasi online, sangat populer terutama ketika menjelang hari raya. Ketika bus dan kereta menjadi moda transportasi utama untuk mudik, keputusan Organda dan pemerintah untuk menyepakati tuslah atau kenaikan harga tiket sangat dinanti. Kini pamor Organda dengan kesaktiannya untuk menentukan harga tiket bus mulai memudar karena minat pemudik untuk menggunakan bus sudah berkurang, beralih ke kereta api yang sudah jauh lebih baik mutu pelayanannya, penerbangan murah LCC, dan juga kendaraan pribadi yang menjamur karena mudahnya memperoleh kredit.

Bukan hanya saat lebaran, Organda juga sering terdengar namanya ketika ada kenaikan harga BBM. Di era presiden SBY, beberapa kali harga BBM naik dan turun. Termasuk saat di awal jabatan presiden Jokowi yang menaikkan harga BBM, maka Organda dan para pengusaha angkutan serentak menaikkan tarif taksi, bus, dan angkot. Sangat terasa ketika di akhir 2014 dan awal 2015 saat harga BBM naik, maka tarif taksi saya rasa tidak masuk akal lagi. Belum ditambah apabila sengaja diputar-putar oleh supir taksi agar argo lebih banyak dari semestinya. Namun ironisnya, ketika harga BBM diturunkan, Organda dan pengusaha angkutan seakan menutup telinga dari tuntutan masyarakat untuk menurunkan tarif.

Baca juga:  Hidup Memang Susah, Tapi Jangan Dibuat susah Lagi

Baru kali ini pula saya penasaran dan coba tanya ke mbah Google apa sebenarnya Organda. Organda dibentuk pertama kali awal tahun 60-an, didorong dengan banyaknya pengusaha angkutan bus dan mini bus (angkot) akibat diberhentikannya trem listrik sebagai alat transportasi di ibukota Jakarta oleh presiden Soekarno. Maka banyaknya pengusaha angkutan darat tersebut, diwadahi dalam Organda yang dikukuhkan oleh Kementrian Perhubungan sebagai organisasi tunggal. Tujuan utama dari Organda adalah untuk membina para anggotanya yang merupakan pengusaha jasa transportasi agar profesional dan optimal dalam melayani konsumen. Namun sepertinya tujuan utama Organda ini agak kurang terdengar karena sebelum populernya transportasi online, kita semua tahu bagaimana kualitas angkutan umum yang dikelola oleh swasta. Mulai dari angkot yang suka ngetem, pengemudi yang merokok, banyaknya kasus copet atau pemalakan di bus dan angkot, kasus kekerasan seksual ke penumpang perempuan, dan sederet fakta buruk transportasi kita yang semestinya jadi tanggung jawab Organda untuk memperbaikinya.

Jujur saja, kebijakan baru pemerintah yang mengatur tarif bawah dan atas transportasi online dan di dukung Organda, menurut saya sangat sarat kepentingan pengusaha. Dengan kata lain, tarif transportasi online seperti Grab Car, Uber, dan Gocar dinaikkan sehingga tak jauh lebih murah dibanding taksi konvensional. Jika penetapan tarif atas masih masuk akal, karena pada saat-saat tertentu yaitu ketika petir atau high deman, maka tarif transportasi online dapat sangat mahal. Namun biasanya kita mensiasati dengan menunggu sebentar karena tak lama harga juga akan turun sesuai dengan jumlah permintaan. Lalu mereka diminta untuk menetapkan batas bawah seperti taksi yang apabila kita booking via telepon, maka seberapa dekat jaraknya, tarif minimalnya adalah 20 hingga 30 ribu. Tentu sangat tidak adil.

Baca juga:  Solusi Web dan Aplikasi Tiket Kereta Api Tak Bisa Dibuka

Menurut saya logika yang digunakan juga agak salah ketika transportasi online yang sudah berhasil melakukan efisiensi sehingga menciptakan tarif yang murah, dipaksa menaikkan tarif agar tidak jauh lebih murah dari taksi konvensional. Ini sangat aneh karena seharusnya pihak taksi konvensionallah yang menyesuaikan diri dan melakukan efisiensi agar dapat bersaing dengan transportasi online.

Jadi siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan kebijakan ini? Menurut saya hal ini tidak adil untuk para konsumen. Sebagai konsumen kita ingin transportasi yang aman, nyaman dan murah. Ketiga hal itu ada pada transportasi online. sedang angkutan umum konvensional melalui Organda sebelum ini hanya fokus pada kenaikan tarif, tanpa ada perbaikan kualitas yang memadai. Kebijakan ini tak lain hanya mengakomodasi kepentingan para pengusaha angkutan umum yang sudah nyaman sebelum kedatangan transportasi online yang menjawab kebutuhan masyarakat.

Saya harap pemerintah sebagai regulator kali ini dapat lebih berpihak pada rakyat. Bukan pada para pemilik modal besar yang tak ingin keuntungannya berkurang dan memperbaiki diri. Fair saja, selain karena harga yang lebih masuk akal, masyarakat lebih memilih transportasi online saat ni adalah karena praktis, aman, dan nyaman. Coba angkutan umum konvensional dapat memenuhi hal tersebut dari dulu, maka pasar transportasi online tak akan seluas sekarang ini. (DPM)