Jakarta – Pendidikan seyogyanya menjadi jalan pembebasan untuk tiap manusia, tanpa terkecuali, tanpa perlu ada diskriminasi. Prinsip itu yang perlu ada dalam dunia pendidikan kita, bukan hanya karena adanya perbedaan fisik dan kebutuhan, pendidikan itu jadi penghalang. Demikian inti dari topik yang aku sampaikan saat jadi salah satu pembicara di acara Bincang Pendidikan Indonesia #BPI2014 pada Minggu, 18 Mei 2014 di Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) Jakarta.
Acara ini diadakan oleh Bincang Edukasi, sebuah gerakan kepedulian pada pendidikan berbasis social media yang rutin menghadirkan dialog-dialog bermutu mengenai dunia pendidikan dan anak. Edisi Bincang Pendidikan Indonesia kali ini spesial karena bersamaan momentum hari pendidikan di bulan Mei, dan menghadirkan 15 orang pembicara dari berbagai sisi dunia pendidikan, yang Kartunet diundang menjadi satu di antaranya. Saat itu aku dan Riqo hadir mewakili Kartunet untuk bicara mengenai pendidikan inklusif.

Bicara mengenai pendidikan untuk penyandang disabilitas, saat ini pendidikan belum sepenuhnya menjadi jalan pembebasan. Bahkan prinsip yang palingmendasar yaitu education for all pada beberapa kasus belum terpenuhi untuk mereka. Masih sering didengar mengenai perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh beberapa oknum sekolah yang menolak ketika ada penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus yang ingin mendaftar ke sekolah tersebut. Alasan klasik yang digunakan adalah sekolah umum tersebut belum siap dari segi pengajar dan fasilitas untuk menerima anak berkebutuhan khusus. Alternatif yang ditawarkan adalah untuk menyekolahkan anak tersebut di Sekolah Luar Biasa atau SLB.

SLB bukanlah solusi terbaik untuk anak berkebutuhan khusus. Pertama, SLB membuat anak berkebutuhan khusus tersisihkan dari lingkungan masyarakat pada umumnya. Pergaulan mereka terbatas hanya pada sesama anak berkebutuhan khusus. Berbeda jika mereka belajar di sekolah umum, maka demografi pertemanannya akan lebih beragam. Selain itu, pembauran atau inklusivitas itu juga akan memberikan pelajaran mengenai toleransi dan menghargai perbedaan sesama siswa. Akan timbul rasa kepedulian sejak dini dan tingkat kepercayaan diri yang meningkat di kalangan anak berkebutuhan khusus. Terakhir, adalah soal keterjangkauan. Jumlah SLB tidak sebanyak sekolah umum, dan jadi hak anak untuk belajar di sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Karena selain lebih terjangkau, siswa berkebutuhan khusus tidak kehilangan lingkungannya bersama keluarga yang merupakan wadah belajar pertama dan utama untuk seorang anak.

Baca juga:  Nge-BOM di Ulang Tahun Indosat Ke-47

Selanjutnya, bicara mengenai pendidikan inklusif, tak dapat dilepaskan dari peranan teknologi. Bagaimana teknologi telah menjadi terobosan untuk seorang penyandang disabilitas dalam mengatasi berbagai keterbatasan fisiknya. Misal untuk seorang tunanetra, adanya komputer bicara yang dilengkapi dengan program pembaca layar atau screen reader, menjadi solusi dalam membaca teks atau mencari bahan pelajaran di internet. Dengan alat tersebut pula, seorang siswa dapat mengerjakan tugas membuat makalah secara mandiri, atau mengerjakan soal ujian tanpa perlu bantuan reader yakni dengan membawa laptop ke kelas dan mengerjakan soal-soal dalam format softcopy. Begitu pula untuk membaca buku cetak, dengan bantuan alat scanner, maka lembar demilembar buku dapat dipindai dalam format digital, lalu kemudian dibaca menggunakan komputer yang dilengkapi screen reader.

Pendidikan harus terus berkembang sesuai dengank ebutuhan tiap siswa. Jangan sampai pendidikan yang sehrusnya jadi jalan pembebasan, malah menjadi masalah tersendiri. Bukan saatnya lagi para pendidik bersikap kaku dengan menolak calon siswa hanya karena tidak dapat melihat atau tak mampu mendengar dengan sempurna. Ingat lagi peran seorang pendidik yaitu untuk mencerdaskan anak bangsa. Dengan itu, maka seorang pendidik harus berorientasi pada solusi, dan mencari jalan terbaik untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan yang ada pada siswa. Layaknya desakan untuk mengintegrasikan siswa berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif yang berbaur dengan siswa lain pada umumnya. Fokus bukan pada fasilitas atau alat-alat bantu yang lengkap, tapi pada keterbukaan pandangan para pendidik untuk mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan siswanya.

Kurang lebih demikian materi yang kami sampaikan dalam Bincang Pendidikan Indonesia 2014. Aku juga belajar banyak dari pembicara-pembicara lainnya yang sangat inspiratif dan konributif di bidangnya masing-masing. Terima kasih untuk mas Krisna dan mbak Anyi dari Bincang Edukasi yang telah memberi kesempatan kami berbagi, terima kasih juga pada kak Shei dari Save Street Child, Prof Daniel Rosyid, dan pembicara lainnya yang telah sama-sama berbagi pengalaman. Terakhir, terima kasih juga buat mas Pandji Pragiwaksono yang ketemu lagi setelah stand up commedy di akhir acara dan ternyata masih ingat dengan kami yang pernah bertemu beberapa waktu lalu di Hardrock Radio.(DPM)