Pengalaman Pertama pakai AirAsia ke Kuala Lumpur

Tangerang – Desember tahun lalu berkesempatan pertama kali mencoba maskapai tarif rendah (Low Cost Carrier) atau LCC AirAsia yang cukup sensasional itu. Bukan dalam rangka liburan dengan tiket pesawat murah, tapi lawatan ke markas AirAsia di Kuala Lumpur untuk observasi Disability Equality Training di AirAsia Academy Malaysia. Dua kata untuk AirAsia, terjangkau dan tak bikin deg-degan.

Kehadiran AirAsia di Indonesia cukup sensasional. Maskapai ini terkenal karena sering memberikan promo tiket pesawat murah bahkan pernah ada yang cuma Rp 10.000 saja. Menurut bos AirAsia, Tony Fernandes, tiket AirAsia bukan murah apalagi murahan. Mereka menerapkan sistem penumpang membayar untuk apa yang didapatkan. Berbeda dengan maskapai full service seperti Garuda Indonesia atau Malaysia Airlines, calon penumpang AirAsia dapat memilih letak kursi hingga memilih menu makanan di dalam kabin yang akan berdampak pada harga tiket.

Dalam deretan kursi AirAsia, ada yang dinamakan hot seat. Ini adalah barisan kursi-kursi yang terletak di bagian depan atau yang paling dekat dengan pintu darurat. Kursi-kursi ini punya harga yang lebih tinggi dibanding kursi di deretan baris lainnya. Meski kesannya keselamatan tidak jadi prioritas yang ditentukan oleh harga, tapi kadang penumpang tak terlalu peduli dengan itu dan lebih tertarik dengan harga murah asal sampai di tujuan dengan selamat. Sebab meski ada perbedaan harga untuk kursi-kursi yang dianggap paling “aman”, tapi standar keselamatan umum penerbangan tetap mengikuti aturan yang berlaku. Jadi ya semua kembali ke soal nasib juga.

Selain itu, penumpang AirAsia juga dapat memilih apakah dia ingin mendapatkan makanan selama di kabin atau tidak. Jika kamu tipe orang yang ingin ngirit, maka dapat memilih untuk tidak order makanan selama penerbangan. Namun untuk penerbangan jarak jauh tentu ini agak dilematis ya. Sebab aturan di bandara bahwa kita tak boleh membawa makanan dan minuman lebih dari 200ml ke dalam kabin. Jadi kalau kamu tahan haus selama perjalanan, kamu bisa dapat tiket lebih murah.

Baca juga:  Cara Pesan Tiket Kereta Online Mudik Lebaran

Namun dari semua sisi “ngirit” dari AirAsia, satu hal yang jadi perhatian saya adalah kenyamanan saat terbang, khususnya ketika landing dan take off. Saya berangkat dari Soekarno Hatta Cengkareng ke Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA) menggunakan penerbangan AK 385, dan pulang dari KLIA 2 ke Cengkareng dengan QZ 203. Dapat saya banggakan bahwa performa pesawat sangat baik dan Alhamdulillah dari mulai take off hingga landing prosesnya sangat mulus. Sangat jauh dari kesan maskapai LCC dengan lambang singa merah itu.

Jujur saja, ketika ada undangan dari AirAsia untuk datang ke Kuala Lumpur dan tentunya harus menggunakan pesawat miliknya sendiri, tadinya agak ragu apakah performanya sesuai dengan harganya. Sebab pengalaman pertama naik pesawat terbang yaitu maskapai singa merah dari Jakarta ke Semarang, dan itu sangat “mengerikan”. Saya sempat bertanya ke teman yang sudah pernah naik AirAsia, dan katanya penerbangan maskapai asal Malaysia itu sekelas dengan penerbangan full service seperti Garuda. Tadinya saya belum begitu percaya, tapi setelah take off pertama kali dari Cengkareng dengan AirAsia, barulah yakin bahwa AirAsia ini maskapai murah tapi tak buat deg-degan.

Sepertinya pilot-pilot yang menerbangkan AirAsia sudah sangat berpengalaman. Tentu terasa bedanya pilot-pilot yang berpengalaman dan bergaji mahal dengan yang kurang diperhatikan oleh maskapainya. Akan sangat kentara saat take off dan landing. Apalagi ketika pesawat yang digunakan makin besar, proses tersebut makin tak terasa lagi. Tiba-tiba pesawat sudah berhenti ketika landing tanpa tahu kapan mulai ban menyentuh landasan.

Oh ya, sebagai informasi, ada dua kode pesawat yang digunakan AirAsia di Indonesia, yaitu AK dan QZ. Berdasar informasi dari salah satu karyawan AirAsia Indonesia yang mendampingi selama kunjungan ke AirAsia Academy, bahwa kode AK itu adalah pesawat-pesawat yang dioperatori langsung oleh AirAsia Malaysia. Jadi flight attendant-nya rata-rata orang Malaysia. Sedangkan untuk yang berkode QZ aalah AirAsia Indonesia. Jadi hampir semua kru di kabin seperti pramugarinya adalah orang Indonesia. Tentu sangat kentara kan ketika mereka bicara dari dialegnya. Tapi tenang, kualitas kedua operator tersebut sama baiknya. Saya tak menemukan perbedaan cara terbang yang signifikan saat berangkat dan pulang dari Kuala Lumpur.

Baca juga:  Hidup di Adelaide hanya dengan Satu Dolar

Hanya dari semua itu, saya mendapat kesan yang kurang baik ketika mendengar pengumuman suara yang ada di dalam kabin. Hal ini sepertinya terkait dengan sensitifnya hubungan antar kedua negara bertetangga ini. Pertama ketika menggunakan pesawat berkode AK dari Cengkareng ke Kuala Lumpur. Ketika pesawat mulai mendekati Kuala Lumpur, ada pengumuman bahwa seluruh isi kabin akan disemprot dengan disinfektan. meski tidak seperti fogging yang menyesakkan nafas, kok saya mendapat kesan bahwa Malaysia takut sekali kemasukan bibit penyakit atau bakteri karena sebelumnya terbang dari Indonesia. Sedangkan ketika saya menggunakan Malaysia Airlines dari Jakarta ke Adelaide Australia, tak ada hal seperti itu saat sampai di Adelaide.

Selanjutnya saat balik dari Kuala Lumpur dengan kode pesawat QZ, ada kalimat-kalimat tambahan dalam pengumuman yang seakan menstigma penumpang yang ngin kembali ke Indonesia. Hal ini ditambah dengan jenis suara yang dipakai dalam pengumuman itu yang kentara orang Indonesia, beda dengan AK yang pengumuman bahasa Inggris diterjemahkan ke Bahasa Melayu. Beberapa kalimat itu seperti peringatan agar tidak merusak fasilitas di pesawat, tidak membawa turun majalah atau alat pelampung, dan peringatan-peringatan lainnya yang saya rasa tidak perlu untuk ditegaskan. Seakan-akan sudah jadi kebiasaan orang Indonesia untuk mencuri dan merusak. Namun ini mungkin hanya perasaan saya saja, mungkin yang lebih memprioritaskan harga tiket murah tak terlalu mempedulikan hal tersebut.

Overall, saya puas dengan kualitas pesawat AirAsia. Dalam penerbangan, perasaan nyaman dan aman ketika pesawat mulai terbang hingga turun kembali di bandara itu yang utama. Saya rasa, AirAsia dapat memenuhi kualifikasi tersebut. Meski kadang juga sering delay meski tidak separah maskapai singa merah, tapi masih dapat ditoleransi. Jadi buat kamu yang ingin bepergian murah dengan AirAsia, tak perlu ragu sebab moto AirAsia adalah Everyone can Fly. (DPM)

2 Comments

  1. serem juga kalau ngebayangin naik si singa merah, yah walaupun yang namanya musibah atau hal buruk bisa datang kapan saja tapi setidaknya merasa aman kalau yang kita tumpangi punya standar yang jelas

  2. betul kak. nasib dan takdir memang di tangan Tuhan. namun kita sebagaimanusia tetap harus berusaha ikhtiar sebaik mungkin, dan salah satunya memilih penerbangan yang nyaman. Padahal maskapai Singa Merah itu punya potensi yang sangat besar, semoga layanannya ke depan dapat diperbaiki.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *