Pengalaman luar biasa ketika mengikuti Forum Indonesia Muda (FIM) angkatan 14 di taman rekreasi Wiladatika, cibubur Jakarta. Kegiatan rutin tahunan ini mempertemukan 120 pemuda usia 18 – 30 tahun dari seluruh Indonesia untuk menjalani pelatihan character building dan leadership. Di dalam FIM paara peserta akan dibimbing bagaimana menjadi pemimpin yang berkarakter dan berjejaring karena tema yang diangkat FIM14 kali ini adalah “Kolaborasi Karya untuk Negeri”.

Satu pembicara yang sangat menggugah di hari pertama 2 Mei 2013 adalah Prof Rhenald Kasali, guru besar di Fakultas Ekonomi UI. Salah satu dosen saya juga ketika study S1, tapi belum pernah ikut langsung kuliah beliau karena beda fakultas. Namun saya suka sekali mengikuti acara Rumah Perubahan yang disiarkan di TVRI. Yup, satu-satunya televisi yang tersisa untuk edukasi publik.

Banyak pelajaran yang dibagikan oleh Prof Rhenald. Saya tidak dapat menuliskan lagi semuanya  kali ini, tapi ada beberapa yang  sangat melekat atau dapat dikatakan menohok paradigma saya. Salah satunya adalah fakta bahwa pemimpin harus memiliki faktor Self yang kuat. Self ini meliputi self-confidence, self-determination, self-motivasion, dan lain-lain. Bagaimana seorang pemimpin harus mampu mandiri dan bertindak sesuai dengan inisiatif yang kuat. Tidak takut untuk mengambil risiko dan tak ragu untuk belajar dan mau mengakui kelebihan orang lain.

Hal paling menohok yang saya sadari adalah bagaimana budaya bangsa Indonesia yang kolektif, seakan-akan menghalangi kita untuk memiliki “self” yang kuat. Prof Rhenald memberi ilustrasi mengenai kebiasaan orang tua kita untuk membedong bayi. Indonesia yang terletak di khatulistiwa, memiliki alam yang hangat dan sejuk, tapi bayi masih perlu dikasih minyak telon agar hangat dan dibedong kaki dan tangannya yang “katanya” agar memiliki struktur yang bagus. Padahal bedongan malah membatasi gerak bayi dan secara tanpa disadari mendidik anak untuk menjadi pasif. Sebab Prof Rhenald mengatakan bahwa anak yang cerdas adalah anak yang selalu ingin tahu dan di antaranya ditunjukkan dengan “kegratilan”.

Baca juga:  ONMA Mataram, Inovasi Keren Alumni FIM di Lombok

Selain itu, masih ada budaya sayang anak yang menjurus ke overprotective melembaga dan beakar terus di orang tua kita. Masih diingat bagaimana seorang anak yang sedari kecil sudah digendong bahkan ketika belajar berjalan ia dituntun oleh orang tuanya. Hal tersebut mematikan kemandirian anak dan akan menciptakan pemikiran yang akan selalu diselamatkan oleh orang tuanya ketika dalam keadaan terdesak. Berbeda dengan anak dari masyarakat barat yang sedari kecil sudah diajari untuk mandiri. Jatuh dalam proses berjalan adalah sesuatu yang wajar untuk melatih anak agar percaya pada kekuatannya sendiri. Maka, bangsa ini disadari atau tidak terbentuk jadi orang-orang yang ragu mengambil risiko dan berfikiran out of the box.

Dari hal tersebut saya bertanya kepada Prof Rhenald, apakah perlu semacam revolusi budaya agar bangsa Indonesia dapat lebih produktif? Sebab hanya sedikit orang yang mendapatkan keberuntungan dapat ikut proses pencerahan seperti apa yang terjadi di Forum Indonesia Muda. Jawaban mengejutkan didapati dari Prof Rhenald yang menyebutkan bahwa tidak semua orang dapat diajak pada perubahan yang positif. Setiap perubahan pasti menemui pro dan kontra. Tak semua orang ingin berubah, cukuplah fokus pada orang-orang yang mau berubah dan biarkan mereka yang tak ingin menjadi pengikut di belakang. Sesuatu yang tak dapat dipungkiri dan menjadi sebuah fakta karena perubahan memang biasanya dimotori oleh sedikit orang yang kemudian berdampak luas.

Perubahan pada seseorang pada awalnya terjadi di dalam fikirannya. Prof Rhenald  juga menyampaikan bagaimana susunan kata dan kalimat berpengaruh pada mindset dan aksi seseorang. Beliau memberi contoh dua kalimat “Mawar itu indah, tapi banyak durinya” dengan kalimat “Meski mawar banyak duri, tapi dia indah”. Pada kalimat pertama, ada nada pesimistis. Meski diberitahu sesuatu yang indah atau menyenangkan, pada akhirnya ia akan memutuskan untuk tidak mengambilnya karena frasa terakhir “tapi banyak duri” seakan memberi peringatan mengamcam. Sedangkan pada kalimat kedua lebih bersifat positif dimana ada peringatan tentang mawar yang banyak duri akan tetapi menjadi tantangan untuk diambil karena dia bunga yang indah. Jadi, alangkah sederhananya hanya dari susunan kata dapat membentuk persepsi yang berbeda.

Baca juga:  Membuat Esai Motivasi Seleksi Forum Indonesia Muda

Materi dari Prof Rhenald Kasali pada hari pertama Forum Indonesia Muda angkatan 14 begitu membekas dalam benak. Banyak hal-hal kecil yang berkecamuk di fikiran yang dicuci bersih. Apa yang disampaikan juga menyadarkan bahwa sebagai bangsa perlu untuk melakukan revolusi budaya dan pemikiran, akan tetapi revolusi itu cukup dimulai dari diri masing-masing.(DPM)