Satu Persamaan saja Cukup untuk Menyatukan Seribu Perbedaan

Tangerang – Selama kita duduk di bangku sekolah, guru mengajarkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, untuk itu kita harus saling menghormati dan bersatu. Namun makna sesungguhnya mengenai keberagaman itu secara nyata kembali saya temukan saat mengikuti Divercity Dinner yang diadakan oleh Komunitas Sabang Merauke di Wisma Keuskupan Agung Jakarta, sebelah Gereja Katolik Katedral (03/08/2016).

Saya hadir dalam acara tersebut atas rekomendasi dari mas Dommy Aji, karyawan di Bank Permata, yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Kartunet dalam mengadakan pelatihan internet marketing untuk tunanetra. Saat itu mas Dommy yang baik menghubungi via chat Whatsapp dan mengajak jika saya berkenan untuk hadir di acara makan malam yang diadakan di kediaman Uskup Agung jakarta, bapak Ignatius Suharyo. Kebetulan saya sebelumnya sudah lama mengenal Komunitas Sabang Merauke karena salah satu pendirinya pun alumni FIM dan pernah diajak untuk jadi pembicara saat SM sedang road show di UI oleh teman baik saya Tanti Senjaya.

Saya yakin, pada sebagian orang mungkin akan berfikir lebih dari sekali untuk menghadiri sebuah acara yang diadakan di simbol agama atau keyakinan yang berbeda olehnya. Namun saat itu saya tidak fikir panjang untuk menerimanya mungkin karena tiga hal berikut. Pertama, saya sudah kenal komunitas SM dan tahu orang-orang di dalamnya banyak dari alumni FIM dan Indonesia Mengajar. Mereka selalu mengkampanyekan keberagaman dan toleransi. Jadi sudah paham untuk acara jamuan yang melibatkan orang dengan latar belakang beragam, sudah diperhatikan kebutuhan dan pantangan masing-masing. Seperti pemberitahuan di undangan bahwa makanan yang disediakan semuanya adalah halal food dan tidak mengandung daging sapi untuk yang Hindu. Ini bentuk toleransi yang dimaksud, yaitu mencari persamaan dari banyak perbedaan yang ada. Dengan begitu, semua yang hadir dapat ikut santap malam tanpa perlu mengurangi kualitas dari makanan itu sendiri. Bahkan meski acara di wisma keuskupan, panitia menyediakan ruangan untuk solat yang diadakan khusus untuk acara tersebut.

Selain itu saya juga percaya dengan mas Dommy Aji. Buka karena dia pun juga seorang Muslim, tapi bukan Muslim sekalipun, saya yakin masih banyak orang baik di dunia ini dan tidak akan sengaja menjerumuskan kita dengan diam-diam memberi daging babi misalnya. Saya yakin bahwa kita yang mengakui adanya Tuhan, maka Tuhan pun akan selalu menjaga dan melindungi kita. Alhamdulillah selama 17 tahun “karir” menjadi tunanetra, saya selalu dipertemukan dengan orang-orang baik yang dengan ikhlas membantu saya entah itu di sekolah, kampus, organisasi, bahkan di jalanan. Sehingga langsung saya balas undangan mas Dommy Aji waktu itu “masa diundang makan-makan saya nolak sih mas”. 😀

Baca juga:  Resolusi Hidup dan Visi Musim 2013-2014

Kebetulan saat sebelum acara itu, siang harinya ada teman lama yang sedang ambil master di Turki datang ke rumah untuk wawancara kebutuhan tesisnya. Sabilul Maarifah yang cukup dipanggil Ifa, sebelumnya kuliah jurusan komunikasi di FISIP UI angkatan 2010 dan pernah jadi relawan kontributor di media Kartunet.com. Saya ajak Ifa untuk datang ke diversity dinner Sabang Merauke tersebut karena yakin pasti ada pengalaman hidup bertoleransi saat berada di negara asing.

Kami datang agak telat karena jalanan macet dan Grab Car yang saya order jadi tersendat. Langsung mas Dommy Aji membantu saya untuk mengambilkan makanan sesaat sebelum acara inti dimulai. Seingat saya saat itu menu yang disediakan ada sate ayam, gado-gado, dan soto. Karena waktu saya hanya sempat makan sate ayam dan lontong serta minum teh manis hangat. Makanannya lezat dan sekali lagi saya yakin bahwa kearifan yang dimiliki bangsa ini tidak akan tega untuk menjerumuskan saudara sebangsanya dengan makanan yang jadi pantangan kita. Selain itu, saya pun juga disediakan kursi meski judul diversity dinnernya itu harusnya standing party. Tapi karena saya agak sulit untuk orientasi makanan jika sambil berdiri dan hal itu juga tidak jadi sunnah Rasul, jadi tak masalah saya duduk di kursi.

Acara inti berupa perkenalan dan diskusi dimulai, dan baru saat itu saya dapat mengenali siapa saja yang hadir. Selain ada mbak Ayu Kartika Dewi yang merupakan salah satu pendiri SM, ada tuan rumah uskup Ignatius Suharyo. Selain itu saya juga mengenali beberapa orang orang seperti kak Leon dari Koperasi Kasih Indonesia yang juga alumni FE UI, ada Surya Sahitapi, putra Dewi Yul yang juga aktivis tunarungu, ada kang Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia, dam tokoh-tokoh lain yang baru saya kenal seperti dari Forum Kerukunan Umat Beragama, perwakilan dari Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha, serta komunitas-komunitas lain.

Baca juga:  FGD Pemuda untuk Kerjasama PBB dan Indonesia 2016-2020

Sesuai dengan judul acaranya, Divercity Dinner atau Makan Malam Keberagaman, acara ini mengundang berbagai tokoh dari latar belakang yang berbeda. Bukan hanya latar belakang suku, agama, dan ras, tapi juga difabel pun ikut diberi kehormatan dalam acara ini. Buat saya selain dapat belajar lagi mengenai makna toleransi dari pengalaman tiap orang yang sangat unik, saya dan Surya khususnya dapat memberikan edukasi mengenai disabilitas ke para undangan.

Hal menarik ada dari kegiatan Komunitas Sabang Merauke yang suda diadakan beberapa angkatan. Tiap tahun mereka mengundang anak-anak dari berbagai daerah di Indonesia untuk datang ke Jakarta dan tinggal (home stay) selama beberapa di keluarga yang punya latar belakang berbeda dari si anak. Seperti ada satu anak perempuan dari Ambon yang Muslim, lalu tinggal dengan keluarga Kristen yang etnis keturunan Tionghoa pula. Tentu si anak merasa ketakutan awalnya karena apa yang ditanamkan di masyarakat dia bahwa untuk Muslim bahwa orang kristen itu jahat, dan di masyarakt Kristen juga berfikiran bahwa orang Muslim itu jahat. Namun setelah tinggal beberapa saat, si anak mulai kerasan apalagi pihak keluarga yang ditempati tak sungkan mengantar ia ke masjid untuk ibadah dan membuatkan makanan untuk sahur dan berbuka karena bertepatan dengan bulan Ramadan. Bukan hanya si anak yang belajar, tapi pihak keluarga yang ditempati pun merasa lebih banyak belajar karena kegiatan tersebut. Bahwa dengan saling mengerti dan komunikasi, perbedaan itu bukan jadi penghalang untuk saling mengasihi sesama manusia tanpa harus mengganggu akidahnya.

Masih banyak sebetulnya pengalaman-pengalaman menarik mengenai hidup bertoleransi dari para undangan yang hadir. Namun satu hal yang saya sadari di acara tersebut bahwa masyarakat Indonesia masihlah masyarakat yang toleran. Saling menghormati perbedaan adalah karakter asli bangsa ini yang punya sejarah panjang karena kondisi geografis dan demografis yang sangat beragam. Keberagaman untuk bangsa ini adalah sebuah keniscayaan, dan keberagaman itu jadi identitas tunggal dari Indonesia.

Baca juga:  Garuda, Sepak Bola, dan Identitas Semu

Sedang jika akhir-akhir ini bangsa ini dinilai itoleran saya rasa itu hanya oknum dari kelompok kecil di masyarakat. Faktor utamanya adalah kurangnya komunikasi dan rasa empati antar sesama. Mungkin ketika di media sosial atau internet, pihak-pihak yang bertikai itu dapat saling serang dan caci, tapi coba dipertemukan tatap muka pada satu ruangan, tentu hanya akan bisa senyam-senyum dan tak akan terjadi konflik. Jadi bangsa ini memang harus lebih mempererat silaturahim dengan saling bertemu, meski perkembangan internet dapat menghubungkan antara manusia dengan jarak yang jauh, kebersamaan itu tetap dibutuhkan.

Terima kasih untuk Komunitas Sabang Merauke yang sudah mengundang saya ke acara yang sangat berkesan itu. Terima kasih karena sudah ikut berkontribusi untuk menjaga keutuhan Indonesia. Terima kasih juga untuk Uskup Suharyo yang sangat ramah dan boleh saya cium tangannya. Sebab di Islam mencium tangan orang yang lebih tua itu selain tanda hormat, kita juga ingin mendapatkan berkah melaluinya. Meski keyakinan berbeda, saya yakin beliau orang yang dekat dengan Tuhannya yang posisinya seperti kiyai atau ulama di agama saya. Semoga Indonesia terus damai dan selalu diberkahi oleh Allah SWT. Saya juga tetap yakin meski kita punya seribu perbedaan, cukup satu persamaan saja untuk menyatukan kita semua. (DPM)

2 Comments

  1. keren banget ay komunitas SM ini, salut deh buat org2 yang mengobarkan semangat keberagaman, krn sekarang ada org yang muali mematikan keberagaman

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending DPM