Tangerang – Sudah lama baca bukunya, tapi baru sempat melanjutkan menulis ulasannya. Kali ini buku menarik dari Khaled Hossaeni dengan judul A Thousand Splendid Suns. Buku kedua dari penulis berkebangsaan Afganistan – Amerika ini setelah sebelumnya The Kite Runner. Buku yang terbit 2007 ini menyajikan drama kehidupan rumah tangga, kesedihan, perjuangan, sekaligus kebahagiaan dalam riuh pergolakan politik Afganistan era pasca 1960.
Khaled Hossaeni menurut saya kembali menunjukan kemampuannya untuk meracik kesedihan mendalam dari para tokohnya dalam sebuah novel yang menarik. Cirikhas di novel sebelumnya The Kite Runner pun masih ada yaitu menyajikan budaya Afganistan dan sejarahnya dalam kisah pribadi para tokohnya. Di buku A Thousand Splendid Suns ini isu yang diangkat adalah seputar kehidupan rumah tangga dua perempuan beda generasi bernama Mariam dan Laila.
Mariam adalah seorang harami atau anak yang lahir di luar nikah dari seorang kaya raya di kota Herat bernama Jalil dengan pembantu rumah tangganya yang kerap dipanggil Mariam Nana. Karena masyarakat Afgan saat itu tidak mengakui adanya harami apalagi Jalil seorang terpandang di masyarakat, maka Mariam kecil dan ibunya diasingkan dan diberi tempat tinggal jauh di luar kota, pada bangunan batu yang mirip kandang hewan. Jalil secara rutin tiap pekan mengunjungi Mariam dan menceritakannya situasi di kota Herat, tentang bioskop miliknya, dan membawakan hadiah-hadiah kecil.
Hingga suatu saat Mariam memberanikan diri untuk datang ke kota Herat dan mencari rumah ayahnya. Karena dia harami, Jalil tak menerimanya ketika Mariam tiba di rumahnya. Hal ini sudah selalu diperaingatkan oleh ibu Mariam bahwa Jalil tidak menyayanginya. Karena hal itu, ibu Mariam bunuh diri dan akhirna Jalil terpaksa mengambil Mariam untuk tinggal di rumah besarnya di Herat.
Saat itu Jalil sudah memiliki 3 orang istri dan beberapa anak. Oleh istri-istrinya, diatur agar mariam meninggalkan rumah yaitu dengan menjodohkannya dengan saudagar asal kota Kabul. Mariam yang masih usia 15 tahun dinikahkan dengan Rasheed usia 45 tahun. Kemudian Mariam tinggal di rumah Rasheed di Kabul, dan dimulailah penderitaan Mariam sebagai seorang istri.
Tak perlu diceritakan secara rinci bagaimana penderitaan yang dimaksud. Karena layaknya cerita di sinetron, lalu di masyarakat dengan budaya patriarki kuat, terlebih di era Taliban dimana hak-hak perempuan seakan dikekang atas nama hukum syariah dari hasil penafsiran sempit sebuah agama, tak terhitung lagi siksaan fisik atau psikologis yang diterima Mariam dari Rasheed. Apalagi setelah Mariam keguguran anak pertamanya dan tak kunjung memiliki anak lagi. Hal tersebut membuat Rasheed makin benci pada Mariam karena tujuan utama dia dinikahi adalah untuk memiliki keturunan, terutama anak laki-laki, setelah pernikahan pertama Rasheed gagal dan anaknya juga meninggal.
Pada akhirnya, splendid sun atau mentari surga itu pun datang di kehidupan Mariam. Berawal dari seseorang yang dibencinya, Laila, seorang perempuan muda yang dinikahi Rasheed karena sudah berputuh tahun tak memiliki anak dari Mariam. Laila sebetulnya adalah tetangga keluarga Rasheed, ia diambil oleh Rasheed setelah rumah dan seluruh keluarganya meninggal akibat terkena rudal akibat perang faksi Mujahidin di Afganistan saat itu. Perasaan benci karena merasa posisinya di rumah terancam dan diambil oleh Laila dan bayinya, lambat-laun jadi kasih karena ketulusan Laila dan tersentuh oleh kehadiran bayi yang selama ini diidamkan Mariam tapi tak pernah lahir dari rahimnya.
Novel ini sangat menarik untuk dibaca. Pemilihan kata dan penulisannya sangat baik, tak sulit perasaan terbawa dengan penderitaan yang dialami tokoh hingga menitikan air mata. Selain itu, ada latar belakang sejarah Afganistan selama 30 tahun mulai 1960 yang selalu bergolak dipengaruhi oleh perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Sejak era akhir kesultanan di Afganistan, lalu masa republik yang dipengaruhi oleh Uni Sovyet, masuk ke perang antar faksi Mujahidin yang berhasil meruntuhkan kekuasaan pemerintah boneka Uni Sovyet, hingga ke tahun-tahun kekuasaan rezim Taliban, dan infasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Afganistan tahun 2003.
Secara umum, novel ini sangat baik dalam memberikan penggambaran kehidupan sosial kulturan masyarakat Afganistan, serta sejarah pergolakan kekuasaan dan pengaruhnya pada bangsa Afganistan. Akan tetapi, mungkin perlu sedikit dicermati mengenai kecenderungan penulis yang tinggal di Amerika mengenai pandangannya terhadap Amerika dan barat. Infasi Amerika ke Afganistan yang menjadi latar terakhir sebelum cerita dalam novel ini berakhir, dinilai sebagai masa pembebasan dari kekuasaan tirani Taliban. Digambarkan bahwa masyarakat menyambut gembira kedatangan tentara sekutu yang telah membebaskan mereka dari aturan-aturan mengekang Taliban, termasuk pemasungan hak-hak perempuan.
Di sisi lain, tiap pergantian rezim dalam cerita ini dan kehidupan nyata sepertinya memang selalu diawali dengan kegembiraan kemudian ditutup dengan kekecewaan setelah rezim yang berkuasa menyalahi janji atau tidak sesuai ekspektasi. Ketika pasukan Muahidin menang dari pemerintah yang didukung Uni Sovyet, rakyat pun menyambut gembira kedatangan mereka di ibukota. Akan tetapi karena tiap faksi dalam pasukan tak dapat berdamai mengenai soal kekuasaan, akhirnya mereka malah saling perang dan memicu perang saudara berkepanjangan. Lalu perang faksi itu diakhiri dengan berkuasanya rezim Taliban yang berhaluan Islam garis keras. Awal kekuasaan mereka pun masyarakat menyambut positif karena akhirnya hukum Islam ditegakkan. Tapi di ujung itu masyarakat pun merasa tidak merdeka karena hak-hak mereka dipasung, apalagi terjadi diskriminasi terhadap hak-hak perempuan. Lantas ketika pasukan sekutu yang dipimpin Amerika masuk, mereka pun gembira karena dianggap membawa perubahan baik. Tapi pada kenyataannya kita tahu bagaimana kondisi di Afganistan hingga saat ini yang masih belum menentu.
Bagaimanapun, tiap hal yang disertai dengan kesabaran dan pengorbanan pasti akan berujung indah. Karena Tuhan selalu menyiapkan hadiah terbaik untuk umatnya yang bersabar. Seperti judul novel ini A Thousand Splendid Suns yang diambil dari sajak penyair Iran abad ke-17.
“One could not count the moons that shimmer on her roofs. And the thousand splendid suns that hide behind her walls”
(“Siapapun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar diatas atap, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding.”)
Sekian, dan semoga dapat bermanfaat serta menambah pengetahuan kita. Jika ada yang sudah membaca atau ingin berbagai inspirasi, silakan ya di kolom komentar. (DPM)