Allah itu seperti apa yang hambanya sangkakan. Ketika diberikan prasangka yang baik, maka kebaikan akan kembali pada hambanya. Sebaliknya, jika Allah dituduh dengan prasangka buruk, maka keburukan pula yang akan didapat. Secara tak langsung, Allah ingin mengajarkan betapa pentingnya sudut pandang. Bagaimana manusia melihat sesuatu, maka itu yang akan terfikirkan, dan terjadi dalam hidupnya.
Tak kurang bukan para motivator menyuruh kita untuk optimis. Sebetulnya, apa itu optimis? Optimis yaitu sesederhana memandang sesuatu dari sudut baiknya. Tentu hidup ini banyak hal yang kurang mengenakkan. Akan terasa berat jika hanya hal-hal buruk itu yang dilihat dan difikirkan tanpa guna. Akan tetapi akan berubah kondisinya jika fokus pada hal-hal positif yang menurut pandangan manusia terselip di antara banyak kesulitan. Padahal tanpa disadari, terlampau banyak nikmat yang didustakan oleh manusia.
Aku jadi teringat kisah yang pernah diceritakan oleh Andre Wongso. Dari hikayat Tiongkok dikisahkan seorang ayah yang sedang menasihati anaknya. Suatu kali diambilnya kertas putih dan diberinya titik hitam kecil di tengah-tengahnya. Lalu ayah bertanya pada anak apa yang dilihatnya di kertas itu? Si anak menjawab titik hitam kecil. Hal ini menunjukkan bahwa manusia selalu berkecenderungan untuk menghitung kesulitan atau sisi buruk dalam hidupnya seperti titik hitam tersebut. Sedangkan nikmat yang tentunya lebih banyak, dilupakan layaknya sisi putih di kertas yang jauh lebih luas.
Sama halnya ketika seseorang menghadapi masalah. Ambillah contoh ketika putus cinta. Biasanya kasus yang terjadi adalah galau berkepanjangan dan sulit move on. Coba dilihat bersama bahwa sikap seperti ini disebabkan karena seseorang menempatkan dirinya pada objek yang seolah-olah teraniaya. Ia merasa ditinggalkan, dikhianati, dan terbuang oleh cinta. Bagaimana jika menempatkan diri bukan sebagai objek tapi coba melihat dari sisi subjek? Bukankah bisa jadi ketika putus cinta, malah kamu yang sudah membuatnya terluka dan mungkin mengalami derita yang lebih berat darimu? Akan lebih mudah untuk melupakan atau move on dari seseorang jika bukan perasaan dizolimi yang ada. Apabila malah kamu yang ternyata menzolimi, maka tinggalkanlah semua kenangan agar tak mengulangi kesalahan yang sama.
Prinsip serupa dapat dilakukan ketika kamu mengalami kesulitan financial, fisik, atau sedang sakit. Akan mudah bagi seseorang untuk mengutuki apa yang tak dapat dilakukan daripada bergerak untuk berbuat yang dapat dilakukan betapa beratnya itu. Contoh seseorang punya uang 10.000 atau sepuluh ribu. Akan terasa mudah dengan mengutuki diri yang terlalu miskin dan hanya punya uang sepuluh ribu sehingga tak dapat beli motor apalagi mobil. Tapi jauh lebih sulit rasanya, untuk berfikir agar uang itu dibelikan bahan untuk membuat kue kemudian dijual, dan mendapatkan untung. Kembali bagaimana uang itu dilihat. Akankah jadi hambatan atau peluang.
Apakah kita ingin terus menjadi objek atau memposisikan sebagai subjek adalah pilihan. Hidup ini sebetulnya indah jika selalu melihat berbagai masalah dari sisi positifnya. Bukan upaya membohongi diri, tapi bagaimana hidup dibuat lebih mudah dengan aura yang positif. Layaknya pepatah yang kerap didengar “Hidup memang sulit, jadi jangan dibuat sulit lagi”. “Bukan hari ini yang membuatmu tersenyum, tapi tersenyumlah maka harimu akan cerah”. Semoga, kita selalu dapat menjalani hidup dengan perspektif yang positif.(DPM)