Kembali, ini dari arsip tulisan lama saat duduk di bangku SMA kelas 11. Momentumnya saat menjelang hari kemerdekaan RI di tahun 2006. Seru juga jika menelusuri gaya dan alur pemikiran setelah puluhan tahun berselang.
Sering kita dengar mengenai kata nasionalisme. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan nasionalisme?. Menurut beberapa informasi yang saya tahu, nasionalisme itu berasal dari kata nation, yang artinya bangsa. Jadi kata nation jika ditambah dengan akhiran isme yang sudah kita tahu yaitu paham, berarti nasionalisme adalah paham yang menjunjung tinggi rasa kebangsaan. Atau singkat kata rasa cinta tanah air.
Ada kalanya rasa cinta tanah air ini berlebihan pada suatu bangsa. Sikap ini sudah pernah terjadi yaitu contohnya pada masa pemerintahan Adolf Hitler di Jerman kira-kira pada tahun-tahun menjelang perang dunia kedua. Hitler dengan partai Natzinya pada waktu itu menggembar-gemborkan bahwa mereka bangsa Jerman adalah bangsa Area yang merupakan ras unggul. Jadi mereka merasa bahwa sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk memimpin dunia ini dan memerintah bangsa-bangsa lain yang mereka anggap lebih rendah. Sikap negatif ini dinamakan Chaufimisme.
Lalu kita sekarang masuk ke topik. Yang saya maksudkan yaitu “apakah masih ada nasionalisme di republik ini?”.
Sebenarnya bangsa kita belum lama mengenal Nasionalisme. Paham itu baru muncul kira-kira awal abad ke-20 yang berasal dari rambatan semangat revolusi Perancis tahun 1789. Revolusi itu sendiri berupa penentangan rakyat Perancis yang sudah jengah dengan nasib melarat mereka karena kekuasaan raja yang absolut beserta para bangsawan dan para pendeta gereja. Para bangsawan dan kaum gereja termasuk penduduk kelas 1 dan 2 di Perancis pada saat itu. Kemudian rakyat jelata yang tidak diakui kedudukannya bersama penduduk kelas 3 yaitu kaum borjuice atau warga kota para pengusaha perancis, bersama-sama memberontak kepada Raja menuntut agar diadakan pembatasan pada kekuasaan raja yang tidak terbatas itu atau absolut.
Kemudian rakyat bersama-sama tentara menyerbu penjara Bastile yang merupakan simbol keabsolutan raja. Di sana mereka membebaskan para tahanan politik dan merebut senjata yang karena tempat itu juga merupakan gudang senjata. Revolusi ini juga didukung oleh tentara karena sebagian besar tentara juga berasal dari rakyat jelata sehingga mereka merasakan bagaimana penderitaan rakyat. Kemudian sikap tentara ini juga didukung oleh Jenderal Lavayette yaitu pahlawan perang kemerdekaan Amerika Serikat yang berhasil melepaskan diri dari penjajahan Inggris. Dari sebab membantu perang kemerdekaan itu, Lavayette sadar bagaimana pentingnya kebebasan bernegara dan demokrasi yang pada ssat itu dianut oleh amerika Serikat. Ia juga tahu bahwa paham Demokrasi itu diambil dari pemikiran cendikiawan Perancis sendiri yaitu diantaranya J.J. Roseau, Voltaire, dan Montesque.
Slogan-slogan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) inilah yang menjadi inspirasi seluruh dunia untuk melakukan demokratisasi dan modernisasi. Hal ini termasuk menjalar ke Indonesia yang pada saat itu sudah mulai bermunculan kaum-kaum terpelajar karena politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebenarnya Politik Etis ini dilakukan tidak sepenuh hati untuk balas budi karena hasil bumi dan manusia Indonesia yang telah dieksploitasi besar-besaran oleh pemerintah kolonial Belanda, tapi yang paling utama adalah untuk kepentingan Belanda sendiri.
Politik Etis itu terdiri dari tiga asas. Yaitu Irigasi atau pengairan, Transmigrasi Atau perpindahan penduduk, dan Edukasi Atau pendidikan. Dari ketiga asas tersebut, hanya asas terakhir yang benar-benar bermanfaat bagi bangsa Indonesia walaupun tidak seluruh bangsa Indonesia dapat merasakannya.
Untuk irigasi, hal ini ditujukan untuk mengajarkan sistem pengairan pada sawah-sawah milik Belanda. Sehingga hasil pertanian yang akan disetorkan untuk belanda akan semakin berlipat dan pada akhirnya Belanda juga yang diuntungkan. Sedangkan bangsa Indonesia terutama yang mengolahnya tetap sengsara dengan adanya sistem tersebut.
Lalu untuk transmigrasi. Sistem ini yaitu memindahkan sebagian penduduk pulau Jawa yang padat ke sumatera yang di sana masih jarang penduduknya. Para penduduk itu dipindah ke daerah perkebunan Belanda di darerah sumatra timur yang di sana mereka akan dijadikan pekerja. Hal ini pada akhirnya juga hanya menguntungkan pemerintah kolonial Belanda karena dengan itu hal perkebunan itu akan semakin besar dan keuntungan semakin mengalir ke kas Belanda.
Tapi dari kesemua ketidak beruntungan rakyat indonesia, ada satu asas yang sangat menguntungkan. Yaitu Edukasi. Dengan Edukasi ini, lahirlah kaum terpelajar yang pada nantinya memutar roda pergerakan nasional untuk menuju cita-cita bersama menuju kemerdekaan Indonesia yang abadi, berdaulat, adil dan makmur. Pada dasarnya, tujuan pemerintah kolonial Belanda melaksanakan Edukasi adalah untuk mendapatkan pegawai birokrasi rendah yang cukup hanya bisa baca tulis yang mau digaji rendah. Pendidikan itu juga tidak semua kalangan masyarakat pribumi dapat menikmatinya, hanya anak-anak bangsawan sajalah yang dapat mengikutinya. Tapi ada sebagian kaum terpelajar dari golongan bangsawan ini yang sudah timbul kesadaran nasionalismenya. Mereka tidak mau jadi pegawai administrasi Belanda setelah lulus, tapi malah berusaha untuk mendidik anak-anak pribumi lainnya agar bisa memperoleh pendidikan dan sekaligus menanamkan jiwa nasionalisme dan persatuan. Contohnya yaitu Bapak Wahidin Sudirohusodo yang berkeliling pulau Jawa untuk mengumpulkan dana beasiswa bagi anak-anak pribumi yang berprestasi.
Sebelum masa pergerakan, dari sejak bangsa Indonesia dimasuki oleh bangsa asing kira-kira tahun 1512, belum ada rasa nasionalisme atau persatuan antar suku di Indonesia. Tapi hanya ada rasa kedaerahan dan belum sadar bahwa antar suku itu adalah bersaudara dan sebangsa. Oleh karena itu, bangsa Indonesia pada waktu itu masih sering diadu domba oleh penjajah. Ini contohnya pada perang Aceh, pemerintah kolonial Belanda mengirimkan pasukannya yang diantaranya ada pasukan yang dipimpin oleh Sentot Alibasyah Prawirodirjo yaitu pejuang rekanan Pangeran Diponegoro. Pada awalnya mereka tidak sadar bahwa mereka semua bersaudara dan sebangsa. Tapi setelah tahu bahwa mereka satu Iman yaitu Islam, Sentot Prawirodirjo membelot dan ikut kubu rakyat Aceh untuk melawan Belanda. Oleh karena itu, Faktor Agama Islam adalah juga salah satu faktor yang menimbulkan persatuan dan rasa nasionalisme pada awal abad ke-20.
Sekarang, di masa kemerdekaan ini. Setelah lebih dari separuh Abad kita merdeka, apakah nasionalisme itu masih ada?. Paham yang telah mempersatukan bangsa Indonesia untuk menuju kemerdekaannya.
Sejauh pengamatan yang saya alami, kata nasionalisme itu untuk sekarang hanya sekedar ucapan belaka, tidak ada penerapannya sama sekali. Lihat saja pada pemuda dan pemudi kita sekarang, sudah terbuai dengan gemerlapnya budaya barat sehingga sudah tidak ada lagi gairah untuk membangun negeri ini. Kehidupan individualis masyarakat yang sangat kentara sekali di kota, mana itu slogan Fraternite yang artinya persaudaraan itu!. Lalu sekarang di negeri kita sendiri, kita sudah tidak lagi menjadi tuan untuk rumah sendiri. Barang-barang hampir semuanya produksi luar negeri. Dari mulai produk kecil seperti beras dan mainan, itu sudah made in … (yang pasti bukan indonesia), dan sampai barang-barang besar seperti mobil dan motor yang sangat kentara sekali pada republik ini. Ini semua menurut saya dalah bentuk dari neokolonialisme. Kolonialisme ultra moderen yaitu kolonialisme ekonomi, politik, dan budaya. (Tentang bentuk-bentuk kolonialisme moderen itu, akan kita bahas pada artikel saya berikutnya).
Lalu mana nasionalisme itu, tidak ada lagi yang cinta produk dalam negeri, sehingga produk dalam negeri tidak dapat bersaing. Tak ada lagi yang peduli pada nasib prestasi olahraga internasional kita, setiap orang hanya memikirkan tentang dirinya melulu.
Apakah nasionalisme kita sudah hilang?, apakah kita siap untuk dijajah kembali oleh bangsa asing?. Semua itu kembali pada diri kita sendiri terutama bagi para pemuda Indonesia. Merdeka!!!!, Merdeka!!!!, merdeka lahir bathin yang kita semua idamkan.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-61
0 Komentar