“Iya pak, itu yang kerjanya malas-malas sudah saya marahin pak!”. Terdengar suara orang sedang memakai handphone yang sedang berbicara dengan bossnya. Itu yang berbicara adalah tetangga saya sendiri yang saya tahu bahwa dia baru saja diterima kerja di salah satu perusahaan konstruksi dan mendapatkan jabatan yang cukup tinggi. Menurut saya hal seperti itu adalah pekerjaan seorang penjilat kepada atasannya yang lebih tinggi dengan mengorbankan orang kecil yang berhirarki lebih rendah daripadanya. Ini adalah perilaku bangsa Indonesia sejak jaman kolonial yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Waktu zaman Belanda, Belanda menerapkan penjajahan tidak langsung kepada Indonesia. Yaitu untuk menarik pajak dan hasil bumi dari masyarakat, pemerintah Belanda menggunakan bangsa Indonesia sendiri yang sudah dibayar oleh uang dan pengawasnya adalah baru orang Belanda. Orang Indonesia yang menjilat ini biasanya adalah para bupati, demang, mandor, dan lain-lain. Mereka tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan kepada rakyat Indonesia sendiri jika mereka menolak untuk menyerahkan pajak kepada Belanda. Lalu para Bupati dan lain-lain itu jika tugas mereka sukses, akan biberikan berbagai fasilitas dan bonus oleh Belanda. Oleh karena itu, persatuan bangsa Indonesia pada saat itu sangat sulit dibentuk karena rendahnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Lalu setelah saya mendengar percakapan itu, saya jadi berfikir dan membayangkan jika saya nanti menjadi seorang atasan yang tidak terlalu atas. Saya akan bertindak sebaik-baiknya tanpa merugikan kedua belah pihak dan tidak pula menjilat kepada atasan.
Terdengar suara pintu diketuk dan ucapan “Assalamualaikum!”. “Wa alaikum salam” saya langsung bergegas membuka pintu ruang kantor dan melihat seorang tua sedang berdiri di baliknya. “Oh pak budi, silakan masuk pak” “Bapak memanggil saya?” “Iya pak, tapi jangan panggil saya pak gitu lah, panggil saya nak atau yang lain ya pak!” aku menuju ke tempat dudukku sambil mempersilakan Pak Budi untuk duduk. “Apa kabar pak?” “Kabar baik nak” aku membuka percakapan. “Saya mulai saja ya pak, kata bagian personalia bapak sering terlambat akhir-akhir ini?” “iya nak, saya terlambat karena ada sedikit masalah” “Masalah apa pak?” “Anak saya sakit”. Aku menunjukan ekspresi prihatin kepada pak Budi “Oh, semoga anak bapak cepat sembuh ya pak!”. “tapi, saya mohon untuk Pak Budi, supaya untuk ke depan ini jangan terlambat lagi ya pak. Saya tidak akan memarahi atau sampai memberikan surat peringatan kepada bapak. Kita kan sama-sama bekerja di sini, dan kita ini sama-sama orang kecil pak. Jadi saya tahu apa yang dirasakan oleh Pak Budi sekarang. Saya hanya berharap agar Pak budi tidak terlambat lagi karena saya tahu Pak Budi memerlukan pekerjaan ini. Saya mengerti itu.” “Terima kasih banyak nak atas pengertiannya” Jawab Pak budi dengan ekspresi yang berubah dari tegang menjadi bersemangat.
***
Itu dia skenario yang akan saya lakukan jika saya menjadi pegawai yang cukup tinggi di perusahaan nanti. Tapi apakah saya bisa melakukannya karena teori itu kan lebih mudah dari pada praktek, dan itu pun baru khayalan saya belaka.
Jakarta, 30 April 2006
Menarik kembali menelusuri riak-riak pemikiran semasa masih duduk di bangku SMA kelas XI. Tulisan imaginer yang saat ini menghantarkan saya benar sebagai pegawai, tapi bukan di sektor swasta melainkan sektor publik. Semoga tetap konsisten dengan cita-cita dalam tulisan ini.
0 Komentar