Akhir-akhir ini, rumah saya keserbu sama tikus-tikus yang sangat menyulitkan. Tikus-tikus itu adalah tikus dalam arti sebenarnya yaitu hewan pengerat yang tubuhnya kecil tapi daya hancurnya sangat besar. Pernah saking hebatnya itu makhluk kecil, mesin cuci di rumah saya itu rusak karena tikus itu. Coba anda bayangkan, alat canggih tekhnologi mutakhir itu dapat dihancurkan oleh seonggok makhluk kecil yang kita anggap menjijikan itu. Awalnya tikus itu melubangi dinding plastik yang tebalnya kira-kira ada satu Cm. lalu ia masuk ke dalam mesin itu dan memutuskan kabel-kabel di dalamnya saat mesin itu dalam keadaan tidak aktif. Hebat bukan!. Mengapa kita sebagai manusia Indonesia tidak mengambil pelajaran positif dari makhluk yang kita bilang menjijikan itu. Kita mulai dulu dengan potensi yang kita miliki. Lah kalau tikus itu punya gigi yang bisa melubangi dan meremukan hal yang keras, kita kan punya tanah dan laut yang luas. Mengapa tidak kita maksimalkan itu. Negeri kita ini memang salah kaprah, punya laut luas kok tidak dimanfaatkan. Malah negara-negara tetangga yang punya laut lebih sedikit dari kita itu sampai masuk-masuk secara ilegal ke daerah kelautan kita. Eh kitanya malah tenang-tenang saja, aneh kan?. Nah, langkah selanjutnya. Seperti tikus tadi yang menyusup ke dalam dan merusak sistem-sistem di dalamnya, kita harus mencuri ilmu-ilmu dan teknologi dari luar negeri, dan mencari-cari peluang di mana kesempatan itu berada. Misalnya, dengan mengirimkan pelajar-pelajar Indonesia yang berprestasi ke luar negeri. Tetapi sebelum mereka dikirim, mereka harus dibuat agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsanya. Setelah mereka lulus dan pulang ke Indonesia, beri mereka insentif dan gaji yang tinggi untuk menerapkan ilmunya di Indonesia.
Lalu kemudian, keluarga kami berinisiatif untuk melakukan langkah-langkah jitu untuk menghentikan pergerakan dari tikus-tikus itu yang sudah merajalela. Yaitu dengan memasang perangkap tikus yang tidak hanya sekali tangkap dapat satu, tapi bisa lebih dari itu. Kemudian keesokan harinya kami mengecek hasil perangkap tikus yang sebelumnya sudah diberi sedikit umpan di dalamnya. Ternyata hasilnya tidak mengecewakan. Dalam semalam, perangkap itu dapat menangkap tikus sekaligus tiga ekor. Setelah itu, tikus-tikus itu akan kami bunuh dengan cara merendamnya di sungai sampai mereka mati. Tapi saya merasa agak sedikit tidak enak. Saya berfikir, tikus-tikus itu kan makhluk hidup juga, kalau mereka di bunuh dengan cara seperti itu sepertinya kejam sekali. Jika dianalogikan, kejadian tersebut sama seperti para koruptor kita yang biasa dilambangkan di tv berupa tikus yang sedang makan uang seratus ribuan. Yaitu pada saat kita ingin menangkap tikus-tikus eh salah korup-koruptor itu, semangat kita menggebu-gebu ingin dapat sebanyak dan secepat-cepatnya. Tapi pada saat sudah di adili, kita karena terbawa oleh watak orang Indonesia yang sangat ramah dan pemaaf, akan membebaskannya atau maksimal meringankan hukumannya. Dengan berbagai alasan misalnya karena buktinya tidak cukup dan lain-lain. Tapi karena dalam hal ini koruptor adalah manusia bukan tikus, jadi mereka lebih cerdik daripada tikus. Mereka bisa memutar balikan fakta misalnya dengan tuduhan mencemarkan nama baik yang padahal nama mereka itu sudah tercemar.
Jadi, saya mengambil keputusan untuk cepat-cepat menenggelamkan tikus-tikus itu ke sungai dan cepat meninggalkan tempat tersebut. Karena nanti daripada ketahuan komnas hah yang nanti saya bisa dituntut dengan tuduhan melanggar hah (hak asasi hewan).
Jakarta, 29 April 2006.
0 Komentar